Waktu sudah menunjukkan pukul enam lewat lima belas menit, sedangkan kini? Sosok Revan terlihat menyusuri koridor sekolah dengan airphone yang senantiasa menempel di telinganya.
Revan bahkan tidak segan untuk menyapa teman - teman di sekelilingnya, sifatnya yang ramah sukses membuat dirinya dikagumi oleh semua orang.
"Kemana aja lo?" Ujar Vito lengkap dengan senyuman sinisnya. Sedangkan Revan? Bukannya takut, laki - laki itu justru terkekeh pelan menanggapinya.
"Kangen lo sama gue?"
"Gak usah banyak omong, kalau lo lupa urusan kita belum selesai" ujar Vito seraya menarik kerah baju sosok di hadapannya. Tidak peduli jika tindakannya sukses menjadi pusat perhatian warga sekolah.
"Gak jelas lo sumpah" balas Revan santai sebelum akhirnya mendorong pelan tubuh Vito agar menjauh darinya.
"Udah ngerasa berani lo sekarang?"
Revan terkekeh, niat awalnya untuk mengabaikan Vito kini ia urungkan. Merasa tertantang, Revan pun kembali membawa langkahnya mendekat kearah Vito.
"Kasih gue alasan kenapa gue harus takut sama lo!" Ujar Revan seraya bersedekap dada, sosoknya bahkan terlihat berbeda tiga ratus enam puluh derajat dari sebelumnya.
Jika biasanya Revan akan diam jika ditindas, maka kali ini ada Revan yang siap melawan siapapun yang berani merendahkannya. Diamnya selama ini bukan karena ia takut, hanya saja masih ada reputasi yang harus ia jaga. Tapi sekarang, semuanya telah berakhir. Karena Revan yang sekarang bukanlah sosok yang mudah untuk di jatuhkan.
"Berani lo ya?" Geram Vito, tangannya bahkan terangkat untuk melayangkan sebuah pukulan kearah Revan.
Hap
Revan mengernyit, tepat setelah sosok Darren berdiri tegap disampingnya. Ia bahkan tidak mengerti dengan apa yang baru saja Darren lakukan. Untuk apa laki - laki itu membantunya?
"Sekali lagu gue ingetin ke lo. Jangan pernah sentuh dia" Darren memperingati lengkap dengan sorot tajamnya. Mengabaikan jika saat ini sosok Vito yang tersenyum remeh menanggapinya.
"Uuuuu takuttttt"
"Gue serius bangsat!"
"Lo pikir lo siapa? Kalau lo lupa lo gak punya hak sama sekali buat ngatur hidup gue" ujar Vito seraya tertawa remeh.
"Vito bener" ujar Revan yang sukses membuat seluruh pasang mata menatap kearahnya.
"Maksud lo apa?" Tanya Darrem lengkap dengan kerutan di alisnya.
Revan menarik nafasnya panjang sebelum akhirnya mengalihkan atensinya kearah Darren. "Berhenti ikut campur masalah gue, bisa?"
"Woww wow woww, gue gak salah denger kan? Amazing" Vito terlihat menertawai, mengabaikan jika saat ini sosok Darren hanya menatap kosong kearah Revan.
"Kenapa?"
"Kenapa? Seharusnya gue yang bilang gitu ke lo. Kenapa? Kenapa lo harus peduli? Bukannya selama ini lo gak pernah peduli sama gue?"
"Lo kenapa sih, Ree? Gue cuma pengen ngelindungin lo. Gue cuma gak mau kalau mereka sampai ngapa - ngapain lo lagi"
"Sayangnya gue gak butuh bantuan lo, Darr. Ini masalah gue, dan lo gak punya hak sama sekali buat ikut campur"
"Kenapa? Biasanya juga lo gak masalah kalau gue bantuin lo. Tapi sekarang? Kenapa lo berubah gini, Ree?"
Revan terkekeh kecil, langkahnya ia bawa mendekat kearah Darren sebelum akhirnya membisikkan sebuah kalimat tepat di telinga Darren.
"Karena gue bukan siapa - siapa lo, Darr"
"Revann!"
"Apa? Gue salah ngomong ya?"
"Gue tau lo kecewa, gue tau lo marah. Tapi gak gini caranya, cara lo kampungan sumpah"
Revan tersenyum miris, sebelum akhirnya kembali mengalihkan atensinya kearah Darren. "Gue gak peduli lo mau ngomong apa, yang jelas gue cuma minta satu hal sama lo, Darr. Berhenti ikut campur masalah gue!"
Darren mengepalkan kedua tangannya kuat - kuat, merasa kecewa sekaligus dipermalukan. Niat awalnya ingin membantu Revan justru berakhir seperti ini. Ia bahkan tidak mengerti lagi dengan jalan pikiran Revan, laki - laki itu benar - benar berubah. Dan sialnya, kenapa ia merasa kehilangan?.
"Nyesel gue bantuin lo" ujar Darren sebelum akhirnya pergi dari sana. Meninggalkan Revan yang saat ini hanya bisa memejamkan matanya pelan. Ia ingin menangis, tapi ia ingat jika saat ini bukan waktu yang tepat untuk dirinya terlihat lemah.
"Urusan kita belum kelar" Vito menimpali, tangannya bahkan terangkat untuk menepuk pelan pundak Revan. Mengabaikan jika saat ini sosok Revan hanya bisa menatap sinis kearah kepergian Vito beserta anak buahnya.
Revan menghela nafas pelan, sebelum akhirnya meninggalkan tempat tersebut. Ia berharap jika tindakannya saat ini sudah benar. Bukan apa - apa, dirinya hanya tidak ingin jika Darren sampai terkena masalah karenanya.
Sedangkan disisi lain, sosok Darren tengah berusaha mati - matian untuk menahan emosinya. Ia tidak habis pikir dengan apa yang baru saja dilakukan oleh Revan. Laki - laki itu boleh saja kecewa, tapi setidaknya tidak bisakah Revan menghargai usahanya?
Kenapa Revan harus berubah disaat dirinya sudah mulai membuka hati? Darren bahkan rela melupakan fakta jika Revan bukanlah saudara kandungnya. Tapi apa? Jangankan menghargainya— pedulipun Revan tidak.
"Sebenernya mau lo apa sih, Ree" teriak Darren sarat akan kekesalan, tidak peduli jika saat ini sosok Revan tengah mengamatinya dalam diam.
Revan tersenyum tipis, sebelum akhirnya memilih membawa langkahnya pergi dari sana. Ia bahkan tidak peduli jika saat ini Darren akan kembali membencinya, karena untuk sekarang tujuan utamanya memang untuk dibenci.
"Jangan buka hati lo buat gue, Darr. Gue cuma gak mau lo terluka nantinya" lirih Revan seraya menatap sendu kearah Darren.
—Revan—
KAMU SEDANG MEMBACA
R E V A N
Teen Fiction"Kalau jalan tu pake mata, ngerti kata hati-hati ga sih?" -Darrendra Aldebaran "Ya gimana mau hati hati, orang mata gue aja lo tutupin gini" -Revan Aldebaran Start ; 07 Januari 2021 Finish ; 14 April 2021