23. Kejahilan Darren

5.2K 646 14
                                    

Siang ini langit tampak mendung, mengingat bagaimana pekatnya awan di atas sana. Revan mengulum senyum tipisnya sebelum akhirnya menghela nafas pelan. Ia bukannya tidak suka hujan, hanya saja ia belum siap jika harus pulang dengan keadaan basah kuyub. Ia mungkin menggunakan mobil, tapi jarak dari gedung sekolah menuju parkiran juga cukup jauh, jadi percaya atau tidak badannya akan tetap basah bukan?.

"Ngapain lo disini?" Tanya Darren yang entah sejak kapan sudah berdiri di sampingnya. Revan sempat tersentak, namun akhirnya kembali bersikap netral.

"Nungguin lo" balasnya lengkap dengan cengiran khas andalannya. Darren mengangguk sebelum akhirnya beranjak pergi dari sana. Tapi baru beberapa langkah ia pergi, Revan justru menghentikan langkahnya.

Darren mengernyit bingung, sedangkan Revan hanya bisa tersenyum canggung. Takut - takut jika Darren akan memarahinya. "Tunggu hujannya reda, gimana?"

"Lo takut hujan?" Darren tampak meremehkan.

"Gue takut basah"

"Kan kita pake mobil, jadi—"

"Ya tetep aja bakal basah, lo ga liat jarak dari sini ke parkiran jauh banget?" Ujar Revan yang sukses membuat Darren memutar bola matanya malas.

"Ya terus lo mau disini sampai kapan? Sampe sore? Gila ya lo"

"Ya gapapa sih, asal ada temennya"

"Sinting"

Revan mempoutkan bibirnya seraya menatap kesal kearah kakaknya. Sedangkan Darren? Laki - laki itu justru lebih memilih untuk tidak peduli.

"Lo kalau mau disini, ya disini aja. Tapi gue mau pulang"

"Lah terus ntar gue pulang sama siapa?" Tanya Revan lengkap dengan nada bingungnya.

"Sekarang pilihan lo cuma dua, lo pulang atau mau tetep disini?"

"Gue gak mau basah, Darr"

"Yaudah gue tinggal" ujar Darren sebelum akhirnya membawa langkahnya pergi dari sana. Tidak peduli jika sedari tadi Revan tengah berusaha memanggilnya.

Revan menghela nafas pelan tepat setelah ia melihat mobil Darren pergi meninggalkan areal sekolah. Revan tersenyum miris, mengingat jika saat ini dirinya benar - benar sendirian. Ada alasan di balik ketakutan Revan, hanya saja— untuk saat ini ia tidak ingin mengatakannya.

Revan berulangkali menggosokkan kedua tangannya, setidaknya tepat setelah rasa dingin tersebut kembali mengusiknya. Sedari tadi hujan juga tak kunjung reda, sedangkan matahari sudah tenggelam sepenuhnya. Waktu mungkin baru menunjukkan pukul empat sore, hanya saja awan pekat di atas sana sukses membuat suasana sekitar terlihat benar - benar gelap.

Revan merogoh saku celananya, berniat mengambil ponselnya dari dalam sana. Tapi lagi - lagi Revan hanya bisa menghela nafas pelan, tepat setelah ia menyadari jika ponselnya mati.

Revan celingukan, sedikit ada rasa penyesalan di benaknya. Seharusnya ia pulang tadi, basah sedikit tidak papa dibadindingkan harus berdiam diri di gedung sebesar ini. Apalagi mengingat hujan yang tak kunjung reda.

Revan merinding, entah kenapa segala jenis setan mulai terbayang di pikirannya. Kuntilanak di di tembok, suster ngesot di pohon, tuyul di tiang bendera dan masih banyak lagi. Jujur, Revan benar - benar takut saat ini. Apalagi mengingat jika dirinya takut gelap, semuanya seolah - olah telah di rencanakan.

Gedung sekolah, setan, dan gelap. Oh ayolah rasanya Revan benar - benar ingin menangis. Bukannya cengeng, tapi setiap orang bukannya berhak untuk menangis? Baik laki - laki ataupun perempuan, anak - anak ataupun remaja, bahkan lansia sekalipun.

Revan memejamkan kepalanya pelan, berharap jika Darren akan berbaik hati untuk menjemputnya. Tapi rasanya tidak mungkin, mengingat bagaimana Darren yang tidak suka direpotkan olehnya.

"Masa iya gue harus trobos sih?" Oh ayolah, semuanya justru membuat Revan semakin bingung. Disatu sisi ia takut gelap, tapi disisi lain ia juga memiliki trauma berada di bawah air hujan terlalu lama.

Revan menghela nafas pelan sebelum akhirnya meringkuk di sudut ruangan. Saat ini dirinya hanya ingin Darren, tapi rasanya mustahil jika laki - laki itu akan menjemputnya.

"Darren gue takut"

"Gue takut gelap, tapi gue juga takut hujan"

"Ayo pulang" ujar seseorang yang sukses membuat Revan sontak mendongakkan kepalanya. Revan tersenyum, tepat setelah sosok Darren berada di hadapannya, di bawah guyuran hujan dengan sebuah payung di tangan kanannya. Tanpa pikir panjang Revan langsung berhambur memeluk sang kakak, karena pada kenyataannya Revan benar - benar takut saat ini.

"Bisa gak sih sehari aja gak nyusahin gue? Lo pikir dari rumah ke sekolah gak ngabisin bensin?"

"Gampang, besok gue beliin bensin" balas Revan dengan gampangnya sebelum akhirnya kembali memeluk kakaknya, berusaha mencari kehangatan disana.

"Lo percaya kalau gue beneran Darren?" Singkat, tapi kata - kata tersebut sukses membuat Revan langsung melepas pelukannya. Sosoknya terlihat mengamati Darren yang entah sejak kapan sudah berubah menjadi seram.

Seram dalam artian di sengaja, karena sekarang sosok Darren tengah mati - matian untuk menahan tawanya. Apalagi setelah melihat bagaimana lucunya Revan saat ini. Rasanya Darren benar - benar ingin mencubit pipi sosok tersebut.

"Lo- lo siapa?"

"Hallo Revan, perkenalkan saya Argus. Bekas tentara jepang yang pernah tewas disini seratus tahun yang lalu. Luka tembak di kepala, tangan yang terpotong dan—"

"Stoppp udah, please Darren bilang kalau lo lagi becandain gue sekarang" potong Revan cepat dengan sedikit ketakutan. Sedangkan Darren? Laki - laki tersebut lebih memilih untuk melanjutkan aksinya.

"Saya disini butuh teman, Revan. Jadi boleh saya pinjam kepala kamu untuk bermain bola?"

"Hahhh?"

"Iya kepala kamu"

"Please Darr, becanda lo gak lucu sumpah" Revan sedikit histeris, bahkan air matanya jatuh tanpa bisa ia cegah.

"Bola mata kamu akan saya jadikan guli" ujar Darren seraya berjalan mendekat, langkahnya sengaja ia pincangkan untuk membuat Revan semakin percaya jika dirinya itu adalah setan.

"Darren udahh"

"Saya ingin kepala kamu, Revan"

"Kepala - kepala mulut lo mengsong, lo mau minjem pala gue emang lo bisa jamin kalau lo bisa masang lagi?" Ceroscos Revan yang sukses membuat Darren tak bisa lagi menahan tawanya. Darren tertawa lepas, sedangkan Revan hanya bisa menatap bingung kearahnya.
Ternyata Revan bisa berubah jadi oon jika dalam keadaan takut? Oh ayolah kali ini Darren benar - benar tidak bisa menghentikan tawanya.

"Tu- tunggu... lo-lo bukan setan?"

"Menurut lo, ada gitu setan seganteng gue?" Tanya Darren seraya menaik turunkan alisnya.
Cukup percaya diri.

"Darrennn..... becanda lo ga lucu sumpah" kesal Revan lengkap dengan teriakan nyaringnya. Kali ini ia sungguh - sunguh jika dirinya teramat kesal dengan manusia atas nama Darrendra Aldebaran.

"Cupu, gitu doang takut"

"Ngeselin gila"

"Ayo pulang" ujar Darren seraya membawa langkahnya pergi lebih dulu.

"Jangan ditinggalin"

—Revan—

Rame? Double?

R E V A NTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang