Bohong jika Revan mengatakan dirinya baik - baik saja. Apalagi setelah mendengar fakta yang sukses meluluh lantahkan perasaannya. Setidaknya untuk saat ini ia mengetahui alasan di balik sikap keluarganya.
"Jadi aku bukan anak papa?"
Degh
"Revan?" Lirih Darren seraya merutuki ucapannya sendiri. Sedangkan Wira? Laki - laki tersebut lebih memilih untuk abai. Ia bahkan tidak peduli jika pada akhirnya Revan mengetahui semuanya.
"Jawab aku pa"
"Aku bukan anak papa?" Lirih Revan lagi, air matanya bahkan jatuh tanpa bisa ia cegah.
"Revann dengerin kita dulu"
"Cukup jawab iya atau enggak!" Revan menegaskan, sosoknya terlihat menatap kosong kearah ayahnya.
"Kamu emang bukan anak saya, Revan" singkat, padat dan jelas. Bagai disambar petir, Revan seketika kehilangan keseimbangannya. Sosoknya terjatuh, dengan netra yang masih menatap kosong kearah ayahnya.
"Jadi ini alasan kenapa papa benci banget sama aku?" Lirih Revan lengkap dengan senyuma tipisnya. Meskipun terluka, tapi sebisa mungkin ia berusaha untuk terlihat baik - baik saja.
"Lo udah tau semua ini?" Tanya Revan seraya mengalihkan atensinya kearah Darren.
"Iya gue tau" balas Darren singkat, sedangkan Revan? Laki - laki itu hanya bisa terkekeh menanggapinya.
"Jadi ini alasan kenapa kalian benci banget sama gue? Karena gue cuma anak dari hasil perselingkuhan mama?"
"Kamu bahkan sudah tau jawabannya, Revan" ujar Wira yang sukses membuat Revan seketika mengalihkan atensinya. Ternyata berpura - pura kuat disaat hati sedang terluka cukup sulit. Jangankan tersenyum, bertahan pun rasanya susah.
"Lucu ya? Buat apa gue bertahan sejauh ini kalau ternyata semuanya bakal berakhir sia sia? Mau gue mati sekalipun kalian juga gak bakal peduli kan? Karena nyatanya gue emang bukan siapa - siapa disini" lirih Revan seraya membawa langkahnya mundur. Sosoknya sempat tersenyum tipis sebelum akhirnya berlalu pergi dari sana.
Setidaknya untuk saat ini Revan mengerti alasan di balik sikap kasar ayahnya. Dan setidaknya untuk saat ini Revan tau alasan Darren membencinya.
Revan mengunci pintu kamarnya, sebelum akhirnya jatuh terduduk di depan pintu. Ia bahkan tidak bisa lagi menjabarkan bagaimana perasaannya saat ini. Semuanya terlalu tiba - tiba untuk ia mengerti seorang diri.
Revan memejamkan matanya sejenak sebelum akhirnya berlalu menuju meja belajar, tangannya bahkan terangkat untuk menyentuh sebuah figura dengan latar hitam putih tersebut.
"Maa, aku mungkin bisa percaya kalau aku bukan anak kandung papa. Tapi kenapa rasanya susah banget buat percaya kalau mama selingkuh?" Lirih Revan seraya mengamati figura tersebut dalam diam.
"Sekarang aku bener - bener sendiri ma. Aku gak punya siapa - siapa lagi. Aku kira aku masih punya keluarga, tapi nyatanya aku cuma sendiri ma"
"Aku bahkan gak yakin bisa ngelewatin semuanya sendiri, tapi aku percaya kalau mama bakal selalu ada buat aku" lirih Revan lagi seraya menghapus jejak air mata di wajahnya.
"Oke Ree, udah saatnya sekarang lo berubah. Berhenti jadi cengeng, dan buktiin kalau lo bisa hidup tanpa mereka. Lo kuat Ree, lo kuatt" ujarnya seraya berusaha menguatkan dirinya sendiri.
Revan tersenyum tipis sebelum akhirnya memilih untuk meletakkan kembali figura tersebut. Kedua langkahnya ia bawa menuju balkon, berharap dengan cara tersebut ia bisa mendapatkan kembali ketenangannya.
"Bintang, gue gak tau diri banget ga sih?"
"Gue bukan siapa - siapa, tapi selalu berharap kalau mereka bakal sayang sama gue" lirihnya lagi seraya menatap bagaimana indahnya angkasa di atas sana.
"Gue capek, tapi sekarang bukan waktunya buat gue nyerah. Seenggaknya kalau bukan mereka, gue harus tau siapa ayah kandung gue yang sebenernya"
***
Revan sudah membulatkan tekadnya. Mulai sekarang ia tidak akan mengeluh lagi. Mulai sekarang ia tidak akan menangis lagi. Dan mulai sekarang ia akan berhenti untuk peduli.
Jika memang keberadaannya tidak pernah di inginkan, maka Revan akan pergi saat itu juga.Revan tersenyum tipis, kedua langkahnya ia bawa untuk menuruni anak tangga rumahnya. Sosoknya tampak bersenandung ria, mengabaikan jika saat ini sosok Darren tengah mengamatinya dalam diam.
"Lo gak sarapan dulu?" Tanya Darren, setidaknya tepat setelah Revan mulai melewati meja makan begitu saja.
"Gue gak laper"
"Bukannya lo harus minum obat? Ya seenggaknya sarapan dulu dong" ujar Darren mulai mengingatkan, sedangkan Revan? Laki - laki tersebut hanya bisa mengedikkan bahunya abai.
"Sengaja, biar cepet mati"
"Gak lucu"
"Haha, iya gak lucu" balas Revan lengkap dengan nada remehnya. Laki - laki itu bahkan tidak peduli jika saat ini sosok Darren tengah menatap bingung kearahnya.
"Revan tunggu"
"Apa lagi sih? Gue buru - buru"
"Lo mau berangkat sendiri?"
"Gak, gue di jemput Vano" ujar Revan yang sukses membuat Darren mengela nafas pelan. Entah kenapa ia membenci kedekatan Vano dengan adiknya. Seolah - olah ada perasaan tidak rela ketika melihat kedekatan keduanya.
"Kenapa gak nunggu gue?" Tanya Darren, sedangkan Revan? Laki - laki tersebut hanya bisa terkekeh pelan sebagai jawaban sebelum akhirnya benar - benar pergi dari sana. Meninggalkan Darren dengan perasaan yang sulit untuk ia jabarkan melalui kata. Entah kenapa ia membenci kedekatan Revan dengan kedua sahabatnya. Semacam perasaan tidak rela dan takut akan kehilangan.
—Revan—
KAMU SEDANG MEMBACA
R E V A N
Teen Fiction"Kalau jalan tu pake mata, ngerti kata hati-hati ga sih?" -Darrendra Aldebaran "Ya gimana mau hati hati, orang mata gue aja lo tutupin gini" -Revan Aldebaran Start ; 07 Januari 2021 Finish ; 14 April 2021