14. Amarah

5.9K 703 21
                                    

Waktu telah menunjukkan pukul delapan malam, sedangkan kini baik Revan, Vano maupun Adrian terlihat tengah menikmati makan malam mereka. Berkeliling mengitari Mall seharian ternyata sukses membuat perut mereka keroncongan.

"Habis ini kita kemana?" Tanya Vano seraya menyeruput minuman di hadapannya. Revan mengernyit, terlihat tengah memikirkan sesuatu sebelum akhirnya menggeleng pelan sebagai jawaban.

"Langsung pulang aja, udah malem. Gue ga enak sama bokap lo" ujar Adrian yang sukses membuat Revan terkekeh kecil.

Ga enak? Oh ayolah— sejak kapan sahabatnya menjadi tidak enakan seperti ini? Lagipula mau dirinya pulang atau tidak, toh tidak ada yang peduli bukan?.

"Yaudah sih gue ngikut aja" balas Revan santai sambil melanjutkan aksi makannya, mengabaikan jika saat ini sosok Vano tengah menatapnya dalam diam.

"Itu lo laper apa doyan sih, Van?"

"Emang kenapa?"

"Bisa kali makannya pelan pelan, lagian tuh makanan juga ga bakal kabur dari piring" ledek Vano lengkap dengan tawa kecilnya.

Revan memutar bola matanya malas sebelum akhirnya memilih untuk abai. "Mending lo habisin tuh makanan lo"

"Emang bakal gue habisin yeuyy" ujar Vano seraya memeletkan lidahnya.

"Bacot lo monyet"

"Berisik lo lutung"

"Apa lu?"

"Lu apa?"

"Manusia lah, emangnya lo? Monyet"

"Wahh nantangin ni bocah"

"Kenapa? Takut lo?" Tantang Revan seraya mengangkat garpu di tangannya ke udara. Lain halnya dengan Vano, karena sekarang laki laki tersebut tengah bersiap untuk mengambil ancang ancang untuk membela diri.

Adrian menggeleng pelan, tidak habis pikir dengan kelakuan sahabatnya. Kadang ia juga bingung, sebenarnya apa yang salah dari kedua sahabatnya ini?

***

"Dari mana aja lo?" Setidaknya kata - kata tersebut yang sukses membuat Revan menghentikan langkahnya, ia membalikkan badannya kearah sumber suara, dan benar saja sosok Darren tengah berdiri seraya menatap tajam kearahnya.

"Gue tanya, kemana aja lo?" Lagi, kali ini Darren kembali bertanya lengkap dengan aura tajamnya.

Revan menunduk, ia tau ia salah— tapi rasanya percuma jika dirinya mencoba untuk menjelaskan. Karena pada nyatanya, sosok Darren tak pernah peduli padanya. Sederhananya rasa ingin tahu yang terpatri, selebihnya hanya pura - pura peduli.

"Gue tanya lo kemana aja dari tadi bangsat?" Darren berteriak, sedangkan Revan reflek menundukkan kepalanya takut. Sebab ini bukan yang pertama kali bagi dirinya melihat amarah sang kakak.

"Jangan pikir baru gue diem lo bisa seenaknya. Gue bingung, lo punya otak ga sih? Lo pikir bokap nyekolahin lo mahal - mahal buat apa? Buat masa depan lo bangst. Dan sekarang? Dengan bodohnya lo malah hura - hura ga jelas kaya gini"

"Gila ya? Bisa - bisanya gue punya adik ga guna kaya gini. Malu - maluin keluarga tau gak lo?" Lanjut Darren lengkap dengan nada malasnya, mengabaikan jika saat ini sosok Revan hanya bisa menundukkan kepalanya pelan.

"Lo ngomong gitu karena lo gatau gimana rasanya jadi gue, Dar" lirih Revan pelan, kepalanya ia dongakkan secara perlahan. Berusaha mengalihkan atensinya kearah sang kakak.

"Dan kalau lo lupa, justru diri lo sendiri yang udah ngebuat lo di benci semua orang" Darren kembali mengingatkan, mengabaikan jika saat ini sosok Revan tengah berusaha mati - matian untuk menahan sesak di dadanya.

Rasanya seperti ada ribuan pisau yang menusuk di relung hatinya, sangat sakit— bahkan rasanya Revan tak sanggup lagi. Ia tau ia salah, ia tau ia memang anak pembawa sial, ia tau ia tidak berguna— tapi apakah anak sepertinya tidak berhak mendapatkan kasih sayang?

Ia juga tidak menginginkan hal tersebut terjadi, ia juga merasa kehilangan, bahkan jika boleh ia meminta— ia bahkan rela menukar nyawanya sendiri. Karena rasanya percuma ia hidup, karena tidak ada satu orangpun yang menginginkan keberadaannya.

Plak

Revan memejam, tepat setelah tamparan keras tersebut mendarat di pipinya. Ia mendongak, kali ini bukan Darren pelakunya. Melainkan Wira ayahnya.

"Sebenernya mau kamu apasih? Bisa gak sih, sehari aja gak buat masalah? Kamu pikir papa gak malu punya anak kaya kamu? Kamu pikir papa gak malu kalau terus - terusan di telfon pihak sekolah gara - gara ulah kamu?" Teriak Wira tepat dihadapan Revan, terlihat jelas jika laki - laki tersebut tengah emosi.

"Rev—"

"Apa? Kamu mau ngomong apa lagi? Papa capek Revan, papa capek kalau harus ngurusin anak gak tau diri kaya kamu. Rasanya bahkan papa nyesel sempet pertahanin kamu dulu" ujar Wira yang sukses membuat Revan menatap lirih kearahnya. Ucapan Wira benar - benar menyakiti hatinya.

"Seharusnya yang mati itu kamu, bukan mama kamu" lirih Wira lagi, air matanya bahkan jatuh tanpa bisa di cegah. Karena kenyataannya, Wira sama sekali belum menerima kepergian istrinya.

"Dan mama meninggal gara - gara nyelametin anak gak tau diri jaga lo" Darren melengkapi.

Sudah, rasanya Revan benar - benar tidak kuat. Apalagi jika semua orang kini menyudutkannya. Setidak penting itukah dirinya?

"Ijinin aku pergi, kalau misalnya cuma dengan cara itu kalian bisa hidup tenang" lirih Revan seraya menundukkan kepalanya.

"Bahkan lo mati sekalipun semuanya ga bakal bisa ngerubah rasa benci gue ke lo, Van"

"Kalau gitu biarin gue mati"

"Kalau bukan karena mama, mungkin gue udah jadi orang pertama yang ngebunuh lo" jawab Darren, sedangkan Revan? Laki - laki itu hanya bisa mengulum senyum tipisnya.

"Kalau gitu, tunggu mama buat jemput gue secara langsung" lirihnya pelan sebelum akhirnya memilih berlalu dari sana. Meninggalkan Darren dan juga Wira yang hanya bisa menatap kepergiannya dengan tatapan yang sulit di artikan.

—Revan—

R E V A NTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang