51. Seperti Bayangan Mama

4.2K 550 13
                                    

Bandung, setidaknya disinilah Revan sekarang. Meskipun dirinya berusaha sekeras mungkin untuk menolak, tetap saja ia  akan kalah jika berhadapan langsung dengan Fahri.

Laki - laki itu terlalu baik untuknya, tapi disisi lain dirinya juga merasa tidak pantas untuk menerima semuanya. Mereka sudah terlalu banyak menolongnya, dan dirinya juga sudah terlalu sering merepotkan mereka. Jadi wajar bukan jika Revan merasa dirinya tidak pantas?

"Ini permintaan terakhir Kinan, papa harap kamu gak keberatan sama sekali, Ree" ujar Fahri seraya mengelus pelan rambut Revan. Mengabaikan jika saat ini sosok Revan hanya bisa menatap kosong kearah pintu di hadapannya.

"Aku bukannya mau nolak, selama ini kalian udah cukup baik sama aku. Tapi aku bener - bener gak bisa ngelakuinnya pa"

"Aku ngerasa kalau gak pantes buat nerima semuanya. A-aku bahkan se-"

"Stop ngomong kaya gitu, Ree. Kalau kamu lupa, kamu udah papa anggap anak papa sendiri. Dan kesembuhan kamu? Secara otomatis udah jadi tanggung jawab papa sayang"

"Aku tau, pa. Tapi seharusnya papa juga gak lupa kalau apa yang tante kinan kasik buat aku, secara gak langsung bakal buat papa kehilangan tante Kinan untuk selamanya" lirih Revan yang sukses membuat Fahri mengulum senyum tipisnya.

Revan memang anak yang baik, laki - laki itu bahkan lebih memilih untuk sakit daripada melihat orang di sekitarnya menderita. Fahri tau jika semua ini mungkin akan menjadi keputusan tersulit untuknya. Bahkan jika dirinya di berikan kesempatan untuk memilih, ia bahkan tidak ingin kehilangan keduanya. Karena percaya atau tidak, keduanya sama - sama memiliki peran penting dalam hidupnya.

"Seenggaknya kalau bukan karena Papa, anggep aja ini permintaan terakhir Kinan buat kamu, Ree. Tolong!"

"Tapi pa—"

"Cuma ini satu - satunya cara supaya papa bisa ngerasain kehadiran Kinan di kamu, Ree" lirih Fahri lengkap dengan air matanya yang jatuh tanpa bisa ia cegah sebelumnya.

"Apa tante Kinan emang gak bisa buat sembuh? Apa emang cuma ini satu - satunya jalan? Apa lagi - lagi aku harus hidup karena pengorbanan orang lain? Apa—"

"Revann" potong Fahri cepat, tangannya bahkam terangkat untuk menghapus jejak air mata di wajah Revan.

"Jangan ngomong kaya gitu, lagi. Berhenti nyalahin diri kamu sendiri atas kesalahan yang gak pernah kamu perbuat sama sekali"

"Mama aku meninggal gara - gara nyelametin aku, pa"

"Kamu salah, mama kamu meninggal bukan karena kamu" ujar Fahri yang sukses membuat Revan tertawa miris.

"Papa bahkan gatau gimana kejadiannya, jadi kenapa bisa papa nyimpulin kalau semuanya emang bukan salah aku?" Lirih Revan seraya menundukkan kepalanya, mengabaikan jika saat ini sosok Fahri hanya bisa menatapnya dalam diam.

"Justru karena papa tau semuanya makannya papa berani bilang kalau semua ini emang bukan salah kamu, Revan!" Batin Fahri sebelum akhirnya menghela nafas pelan sebagai jawaban.

"Revann!" Panggil Raska yang sukses membuat  Revan dan juga Fahri mengalihkan atensinya.

"Mama mau ketemu lo" lanjut Raska, sedangkan Revan? Laki - laki tersebut hanya bisa mengangguk ragu sebagai jawaban.

"Biar papa temenin ya?" Fahri menawarkan diri, sedangkan Raska? Laki - laki tersebut justru memggeleng cepat sebagai jawaban.

"Mama cuma pengen ngobrol berdua sama Revan, pa" lanjut Raska yang langsung di jawab anggukan pelan oleh Fahri. Setidaknya jika bukan dirinya, Fahri berharap jika Kinan berhasil meyakinkan Revan.

"Yaudah kalau gitu aku masuk dulu ya?" Ujar Revan seraya membawa langkahnya memasuki ruangan dimana Kinan dirawat. Meninggalkan Fahri dan juga Raska yang saat ini hanya bisa menghela nafasnya pelan.

Dengan sedikit ragu, Revan mulai membuka knop kamar tersebut menggunakan tangannya. Jujur, saat ini dirinya benar - benar gugup. Tapi semuanya tidak berlangsung lama, setidaknya tepat setelah senyuman hangat tersebut menyambutnya.

"Kamu Revan ya?" Ujar sosok tersebut lengkap dengan suara pelannya.

"I-iya tante"

"Jangan panggil tante, Fahri udah nganggep kamu seperti anaknya sendiri kan? Jadi secara gak langsung kamu juga sudah saya anggap seperti anak saya—"

"Panggil saya mama, ya?"

Revan mengulum  senyum tipisnya, tidak bisa di pungkiri jika saat ini dirinya seperti melihat bayangan mamanya dalam tubuh Kinan. "I-iya ma"

"Mama gak nyangka kalau kamu jauh lebih tampan kalau senyum"

"Mama juga cantik"

Kinan tersenyum, air matanya bahkan mulai berkaca - kaca. "Mama boleh pegang pipi kamu?" Tanya Kinan seraya menggapai sosok Revan menggunakan tangannya. Sedangkan Revan? Laki - laki tersebut  langsung  saja meraih tangan Kinan dan meletakkannya pada pipinya.

"Fahri sama Raska udah cerita banyak tentang kamu. Mereka bilang kamu anak yang baik, mama selalu penasaran sama kamu dan sekarang? Akhirnya mama bisa ketemu langsung sama kamu"

"Mama tau ga? Sifat mama yang sekarang justru ngingetin aku sama seseorang"

"Siapa?"

"Mama kandung aku" ujar Revan yang langsung di jawab senyuman tipis oleh Kinan.

"Seenggaknya rindu aku cukup terobati karena aku bisa ketemu orang sebaik mama"

"Kalau boleh jujur, mama bahkan pengen banget mengenal kamu lebih jauh. Tapi sayang, se—"

"Ma, sebaiknya kita gak usah bahas itu sekarang"

"Gak bisa Revan, waktu mama emang udah gak lama lagi"

"Mama pasti sembuh!"

"Ngga Revan, udah gak ada harapan lagi buat mama"

"Mama harus sembuh, seenggaknya kalau bukan buat Raska. Mama harus bertahan demi aku. Kita baru aja ketemu, dan mama? Mama mau pergi gitu aja?"

"Aku bahkan baru bisa ngerasain kasih sayang seorang ibu, tapi mama? Mama justru lebih milih buat pergi" lanjut Revan lengkap dengan air matanya yang kini mulai berjatuhan.

"Maafin mama ya?"

"Ma...."

"Tolong ijinin mama buat ngelakuin sesuatu yang berguna, Ree"

"Mama pasti sembuh"

"Ijinin mama donorin jantung mama buat kamu, ya?"

"Maa..."

"Kamu anak yang baik, Revan. Perjalanan kamu masih panjang, jadi seenggaknya untuk pertama dan terakhir kalinya. Mama minta tolong sama kamu, tolong ijinin mama"

"Ma..."

"Tolong Revan"

"Engga ma"

"Tolong"

—Revan—

R E V A NTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang