"Seharusnya lo gak usah ngelarang gue tadi" ujar Revan seraya mengobati luka lebam di wajah kakaknya.
"Gue gak mau lo kenapa - kenapa" balas Darren yang sukses membuat Revan mengulum senyum tipisnya.
"Gak usah senyum - senyum gitu, lagian gue cuma gak mau kalau lo sampe kena marah bokap lagi"
Revan terkekeh pelan sebelum akhirnya menggelengkan kepalanya tak habis pikir. "Lo khawatir sama gue?"
"Gak usah GR"
"Boong, lo pasti khawatir kan sama gue? Cieeee"
"Apasih gajelas"
"Uuuttutuuu, apasih susahnya bilang iya Revan, gue tu khawatir sama lo" Ujar Revan seraya tertawa pelan, menggoda Darren merupakan salah satu hobby yang paling ia sukai.
"Ngomong sekali lagi, nihh" kesal Darren seraya mengangkat kepalan tangannya keudara.
"Galak banget sih lo, untung gue sayang. Coba kalau engga—"
"Apa?"
"Gak jadi" lanjut Revan lengkap dengan cengiran khasnya, sedangkan Darren? Laki - laki tersebut hanya bisa memutar bola matanya malas.
"Udah gak sih? Lama banget dari tadi" geram Darren saat Revan tak kunjung selesai mengobati lukanya.
"Iya sabar, ini juga udah mau selesai" balas Revan seraya mempoutkan bibirnya kesal. Bagaimana tidak, mengingat jika sedari tadi Darren hanya mengomelinya.
"Revannnn" pekik Vano dan Adrian kompak. Keduanya tampak menghampiri Revan yang saat ini sedang berada di UKS.
"Gak usah teriak - teriak bisa?"
"Iya maap, habis lo dari tadi kita cariin tau - taunya malah disini"
"Tumben nyariin, kangen lo sama gue?"
"Dih najis" Vano bergidik ngeri, sedangkan Revan hanya terkekeh pelan sebagai jawaban.
"Lo berdua di panggil pak Dudung"
"Pak Dudung?" Tanya Darren lengkap dengan kernyitan di alisnya. Setaunya tidak ada yang bernama pak Dudung di sekolahnya.
"Ehh— pak Arya maksud gue. Maklum lidah bule, jadi kalau ngomong suka kepleset dikit" balas Vano lengkap dengan cengiran khasnya.
"Gak jelas anying" ujar Darren lengkap dengan nada datarnya.
"Dasar es batu, muka triplek" kesal Vano seraya mengamati kepergian Darren. Sedangkan disisinya, masih ada Revan dan juga Adrian yang hanya bisa menggelengkan kepalanya pelan.
"Pak Arya ngapain manggil gue?"
"Kayaknya ada yang ngelapor kalo lo berantem sama geng nya Vito, deh" jawab Adrian yang sukses membuat Revan menghela nafas pelan.
"Udah gue duga kalo semuanya bakal jadi gini" ujar Revan seraya beranjak dari duduknya, terlihat jelas jika sosoknya benar - benar lelah menghadapi situasi semacam ini.
"Tapi tadi lo gak di apa - apain kan?" Tanya Vano lagi, netranya terlihat mengamati sosok Revan dari ujung rambut sampai ujung kaki. Karena percaya atau tidak, dirinya benar - benar khawatir jika Revan sampai kenapa - kenapa.
"Gue gak papa"
"Serius?"
"Serius elah, yaudah kalau gitu gue mau ketemu pak Arya dulu"
"Oh iya Van—"
"Hm?"
"Saran dari gue sih, mending tebelin kuping lo dari sekarang. Takut - takut genderang telinga lo pecah gara - gara denger suara pak Dudung" ujar Vano lagi, sedangkan Revan hanya bisa terkekeh pelan sebagai jawaban.
"Pak Dudung matalo kunti, Pak Arya monyet"
"Pak Arya monyet? Wah parah lo, ngatain guru durhaka lo. Gue bilangin pak Arya baru tau rasa "
"Maksud gue lo yang monyet, bukan pak Arya"
"Sialan lo" kesal Vano, mengabaikan jika saat ini sosok Adrian tengah tertawa lepas di hadapannya.
***
"Bapak dengar, kalian berantem lagi?" Tanya Pak Arya lengkap dengan nada tegasnya, sosoknya tampak berjalan melewati satu persatu anak didiknya.
"Bapak gak habis pikir, kalian ini sekolah mahal - mahal mau jadi apa kalau kerjaannya cuma berantem terus?"
"Setidaknya jaga nama baik sekolah, jangan berbuat hal - hal yang dapat merugikan diri sendiri apalagi sekolah"
"Apa kata orang tua kalian nanti jika mereka tau anaknya berkelahi? Apa kalian pikir mereka tidak akan kecewa?"
"Dan ya, ini juga bukan pertama, kedua atau ketiga kalinya kalian berkelahi. Saya sudah sering memperingati kalian, tapi apa? Kalian justru mengulanginya lagi dan lagi" lanjut Pak Arya seraya menghela nafas pelannya, tidak habis pikir dengan jalan pikiran anak didiknya.
"Sekarang saya tanya, siapa yang bisa mempertanggung jawabkan ini semua?" Tanya Pak Arya lengkap dengan nada tegasnya. Sedangkan tidak jauh dari posisinya, baik Revan, Darren, Vito, Dimas, Raka, Sean, dan antek - antek Vito yang lainnya hanya bisa menundukkan kepalanya. Tidak ada satu orangpun yang berniat membuka suara, dan hal itu justru membuat Pak Arya semakin geram.
"Darren!" Panggil Pak Arya yang sukses membuat Darren mengangkat kepalanya dan beralih menatap sosok di hadapannya.
"Saya yakin bukan kamu, tapi saya berharap kamu bisa menjelaskan alasan kamu terlibat dalam perkelahian ini"
"Saya hanya ingin melindungi orang yang seharusnya saya lindungi" ujar Darren yang sukses membuat Pak Arya mengernyit bingung.
"Mereka yang mulai, dan saya hanya membela diri" lanjut Darren lagi, mengabaikan jika saat ini sosok Vito tengah menyorot tajam kearahnya.
Pak Arya menghela nafas lelah sebelum akhirnya beralih menatap satu persatu anak didiknya. "Sesuai peraturan sekolah, yang salah akan tetap mendapat hukuman. Jadi sekarang saya minta kalian untuk lari keliling lapangan sebanyak lima belas kali!"
Vito menjatuhkan rahangnya tidak percaya, oh ayolah— bagaimana mungkin dirinya bisa beralari sebanyak lima belas kali, mengingat bagaimana besarnya lapangan mereka saat ini.
"Gak boleh kurang pak?" Sean berusaha melakukan penawaran.
"Protes? Hukumannya bapak kali dua"
"Ehh jangan dong pak, oke lima belas kali" ujar Dimas pada akhirnya.
"Lariiii"
"Lo oke?" Tanya Darren seraya menghampiri Revan yang terlihat mulai menjalani hukumannya.
"Gapapa, aman. Cuma lari doang gak bakal bikin gue mati, Darr" Revan tampak meremehkan sebelum akhirnya berlari meninggalkan Darren lebih dulu.
"Justru karena lo bilang gak papa, gue jadi khawatir sama lo, Ree" batin Darren seraya mengamati sosok Revan dari belakang.
—Revan—
KAMU SEDANG MEMBACA
R E V A N
Teen Fiction"Kalau jalan tu pake mata, ngerti kata hati-hati ga sih?" -Darrendra Aldebaran "Ya gimana mau hati hati, orang mata gue aja lo tutupin gini" -Revan Aldebaran Start ; 07 Januari 2021 Finish ; 14 April 2021