Wira membawa langkah pelannya menyusuri koridor rumah sakit. Entah kenapa perkataan Fahri tadi sukses membuatnya kepikiran. Apa benar selama ini dirinya sudah cukup kelewatan? Jika iya, Wira bahkan baru menyadarinya sekarang.
"Dimana Revan?" Teriak seseorang yang sukses membuat Wira mengalihkan atensinya.
"Darren? Kamu disini?"
"Cukup kasih tau aku dimana Revan!"
"Revan udah dipindahin ke ruang rawat VIP 3" balas Wira lengkap dengan helaan nafasnya. Sedangkan Darren? Laki - laki tersebut langsung saja membawa langkahnya pergi dari sana. Mengabaikan jika saat ini sosok Wira hanya bisa memejamkan matanya pelan.
Sedangkan disisi lain, kini sosok Raska hanya bisa mengamati bagaimana sosok dihadapannya terlihat begitu tenang dalam tidurnya. Percaya atau tidak, dirinya bahkan cukup lega jika pada akhirnya Revan bisa melalui masa kritisnya.
"Ayo bangun, jangan nyerah gitu aja"
"Kalau lo bangun, kita duel pake centong lagi. Yang kalah traktir bakso sama es teh" lanjut Raska lengkap dengan nada lirihnya. Tangannya bahkan terangkat untuk mengusap lembut rambut Revan. Karena jujur, dirinya teramat sangat menyayangi sosok di hadapannya ini.
"Ada banyak cerita yang harus lo denger setelah bangun. Jadi gue harap lo udah nyiapin mental dari sekarang" ujar Raska seraya menyentil pelan hidung Revan.
"Lo tau gak? Ternyata lo itu bukan anak tiri, Ree. Lo anak kandung bokap lo, dan Darren? Dia emang saudara lo"
"Gue yakin sih kalau lo juga gak bakal nyangka, sama kayak gue. Tapi ya emang ini fakatanya. Selama ini Om Wira udah bohongin lo"
"Yaa... meskipun kesel, seenggaknya disini gue juga bersyukur Ree. Karena pada akhirnya Om Wira mau ngakuin lo sebagai anaknya"
"Seharusnya dia juga sadar, kalau bangkai— mau di sembunyiin kek gimana pun hasilnya tetep bakal kecium juga kan?" Balas Raska lengkap dengan kekehan kecilnya. Mengabaikan jika saat ini sosok Revan terlihat membuka matanya secara perlahan.
Revan tersenyum, "Percaya atau engga, ketika kita angkat tangan. Tuhan pasti turun tangan" lirih Revan yang sukses membuat Raska membelalakkan matanya kaget. Bagaimana tidak, mengingat Revan sadar tanpa sepengetahuan darinya.
"L-lo? Sejak kapan lo sadar?"
"Sejak lo mulai ngejelasin semuanya"
Raska terkekeh, sebelum akhirnya menghela nafas pelan. Entahlah, setidaknya untuk saat ini dirinya hanya bisa bersyukur atas semuanya. "Gue seneng kalau akhirnya semua baik - baik aja"
"Kaya yang lo lihat, Ras. Operasi berjalan lancar dan gue? Gue bahkan belum sempet ngucapin makasi sama nyokap lo"
"Mama gue udah tenang disana, Ree"
"Seharusnya gue gak usah nyetujuin semuanya, dan lo? Lo mungkin gak bakal kehilangan nyokap lo, Ree" lirih Revan yang langsung dijawab gelengan pelan oleh Raska.
"Seharusnya lo tau, Ree. Apapun yang terjadi sekarang, semuanya udah diatur oleh takdir. Ya... mungkin takdir mama gue emang sampe sini aja. Dan lo? Gue harap lo berhenti buat nyalahin diri lo sendiri, Ree"
"Tap—"
"Malaikat gak pernah salah, setan juga gak pernah bener. Sedangkan manusia? Manusia bisa bener bisa salah. Jadi tugas kita sekarang cuma satu, saling mengingatkan. Bukannya menyalahkan"
Revan tersenyum, tangannya bahkan terangkat untuk mengusap pelan rambut Raska. "Gue berhutang banyak sama keluarga lo. Jadi gue janji, kalau gue gak bakal pernah ninggalin lo Ras"
"Kalau gitu, gue juga gak bakal ninggalin lo. Karena, percaya atau engga mulai sekarang lo udah jadi tanggung jawab gue"
Revan tersenyum sebelum akhirnya mengangkat jari kelingkingnya ke udara "Promise?"
Raska tersenyum sebelum akhirnya ikut mengaitkan jari kelingkingnya dengan Revan. "Promise"
"Dari tadi gue cuma liat lo, Papa Fahri mana?" Tanya Revan yang langsung membuat Raska mengalihkan atensinya kearah pintu.
"Paa, dicariin Revan nih" teriak Raska yang sukses membuat Revan melayangkan pukulan kearahnya.
"Sakit anying"
"Lagian, udah tau rumah sakit. Pake segala teriak - teriak lagi" gerutu Revan yang sukses membuat Raska tertawa kecil.
"Ekhemm"
"Papa?" Terdengar jelas jika saat ini Revan begitu antusias menyambut kedatagan Fahri.
"Jagoan papa apa kabar nih?" Seru Fahri seraya berjalan mendekat kearah Revan dan juga Raska. Tangannya bahkan terangkat untuk mengusak pelan rambut putra angkatnya tersebut.
"Baikk pa" balas Revan lengkap dengan cengiran khas andalannya.
"Syukur deh. Papa ikut seneng dengernya"
"Makasi ya, pa. Kalau bukan karena kalian, aku mungkin gabisa bertahan sampai sekarang"
"Hushh, jangan ngomong gitu"
"Kalian tau engga kalau aku beruntung banget bisa ketemu orang sebaik kalian"
"Dan kita juga beruntung bisa ketemu malaikat kecil kaya kamu" balas Fahri seraya mencubit gemas pipi Revan.
"Bukan malaikat kecil, tapi malaikat centong" Raska menimpali yang sukses membuat Revan menyorot tajam kearahnya.
"Monster jelek mending diem, gak usah ikut campur!" Celetuk Revan yang sukses membuat Fahri tertawa lepas karenanya.
"Lo ngatain gue monster jelek?" Sungut Darren tak terima.
"Lo juga ngatain gue malaikat centong, maksud lo apa?" Revan tak ingin kalah.
Perdebatan kecilpun terjadi, keduanya sama - sama tak ingin kalah sebelum akhirnya tertawa lepas sebagai jawaban. Mereka terlihat bahagia, mengabaikan jika saat ini baik Darren maupun Wira terlihat mengamati dalam diam.
Mereka sudah kehilangan.
—Revan—
KAMU SEDANG MEMBACA
R E V A N
Teen Fiction"Kalau jalan tu pake mata, ngerti kata hati-hati ga sih?" -Darrendra Aldebaran "Ya gimana mau hati hati, orang mata gue aja lo tutupin gini" -Revan Aldebaran Start ; 07 Januari 2021 Finish ; 14 April 2021