17. Tidak Adil

5.3K 662 12
                                    

D a r r e n d r a   A l d e b a r a n

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

D a r r e n d r a   A l d e b a r a n

***

Darren membawa langkahnya menuju gudang belakang sekolah, tidak peduli jika bel masuk baru saja berbunyi, bolos di jam pelajaran sudah menjadi kebiasaan baginya, dan otaknya yang cerdas sudah cukup menjadi penyelamat hingga detik ini.

Sosoknya  mengedarkan pandangannya kesegala arah, berusaha mencari keberadaan seseorang yang akhir - akhir ini selalu menguji kesabarannya, Alvito Prayudi.

Entah dimana sosok tersebut berada, yang jelas Darren yakin jika sosok tersebut tidak jauh dari sini. Gudang belakang mungkin cukup identik dengan anak - anak Daredevil. Dimana sebuah perkumpulan yang langsung diketuai oleh Alvito itu berada.

Saat sedang fokus mencari, tiba - tiba pandangannya tidak sengaja berhenti pada satu objek. Darren mengepal kuat, sebelum akhirnya berlalu menuju sosok tersebut.

"Lo ngapain disini?" Ujar Darren yang sukses membuat sosok dihadapannya tersentak. Bagaimana tidak, mengingat bagaimana cara Darren mengagetkannya.

"Bukan urusan lo"

"Sekali lagi gue tanya, lo ngapain disini?" Bukannya menjawab, laki - laki tersebut justru memilih untuk mengabaikan Darren, membawa langkahnya menjauh dari sosok yang saat ini justru mencekal kuat tangannya.

Revan menghela nafas pelan, sebelum akhirnya menatap datar kearah sang kakak. Ia tidak habis pikir, tidakkah Darren lelah jika harus bertengkar hampir tiap harinya?.

"Lepas Darr"

"Gak bakal gue lepas sebelum lo jawab pertanyaan gue"

"Buat apa lo tau? Lagipula apapun yang gue lakuin itu gak ada hubungannya sama lo" ujar Revan seraya melepas cengkraman Darren di tangannya. Tapi bukannya melepas, Darren justru mempererat cengkramannya, tidak peduli jika tindakannya sukses membuat Revan meringis pelan.

"Cukup jawab, lo ngapain disini?"

"Sejak kapan lo peduli sama apa yang gue lakuin?"

"Lo ngerti bahasa manusia gak sih? Kalau gue nanya ya jawab, gak usah ikut nanya!" Ujar Darren yang sukses membuat Revan memejamkan matanya perlahan sebelum akhirnya kembali mengalihkan atensinya kearah sosok dihadapannya.

"Lepasin tangan gue, Darr"

"Gak"

"Lepasin Darren"

"Gak"

"Gue bilang lepasin tangan gue sekarang" teriak Revan yang sukses membuat Darren reflek melepaskan cengkramannya.

Revan menyentuh pergelangan tangannya sebelum akhirnya tersenyum remeh. "Apapun yang gue lakuin sekarang, lo gak punya hak buat ikut campur"

Darren mengepalkan tangannya kuat - kuat, tepat setelah sosok Revan pergi dari sana. Entah apa yang salah dengan dirinya, tapi kenapa ia sama sekali tidak menyukai sikap Revan yang sekarang?

Sedangkan disisi lain, sosok Revan tengah berusaha mengatur pernafasannya. Sebenarnya ia tidak ingin melakukan hal tersebut, bersikap kasar bukanlah bagian dari dirinya. Hanya saja, keadaan yang harus memaksanya untuk bersikap demikian.

Sebisa mungkin ia berusaha menyembunyikan rasa sakitnya, niat awalnya untuk bersembunyi justru berakhir dengan bertemu sang kakak. Bukan apa - apa, Revan hanya tidak ingin jika orang - orang tau tentang sakitnya. Revan tidak ingin jika semua orang kasihan padanya. Revan jauh lebih baik di benci daripada harus menerima rasa kasihan dari orang lain.

Revan memejam perlahan, tangannya terangkat untuk menekan kuat dadanya. Sakit, sesak bahkan rasanya sangat sulit untuk bernafas.

"Ayo Re, gue yakin lo kuat. Jangan sekarang"

"Revan? Lo ngapain?" Tanya Adrian yang sukses membuat Revan kembali bersikap seolah - olah semuanya baik - baik saja.

"Gu-gueee...."

"Mukak lo pucet, lo sakit?"

"Ah masa? Engga kok"

"Tapi serius, mukak lo pucet banget"

"Perasaan lo aja kali" ujar Revan berusaha meyakinkan. Adrian mengernyit sebelum akhirnya mengangguk pelan sebagai jawaban.

"Udah bel masuk, lo gak mau ke kelas?"

"Lo duluan aja deh, gue mau ke kamar mandi bentar"

"Ohh oke, gue tunggu di kelas" ujar Adrian sebelum akhirnya berlalu menuju kelas. Meninggalkan Revan yang hanya bisa menghela nafas lega.

Revan menggigit ujung bibirnya pelan, sebelum akhirnya berlalu menuju kamar mandi. Keadaannya mungkin sudah berangsur membaik, hanya saja kondisi tubuhnya masih bisa dibilang cukup lemas.

Dengan langkah pelannya, Revan mulai menyusuri lorong sekolah. Sesekali sosoknya juga sempat menghentikan langkahnya, tepat setelah semuanya terlihat memiliki bayangan. Kepalanya pening, langkahnya pun mulai tidak seimbang.

Revan merutuki dirinya sendiri, kenapa ia harus terlahir dengan keadaan seperti ini. Ia tau, tidak seharusnya ia mengeluh. Tapi jika boleh ia jujur, ia juga bisa lelah.

Kadang ia juga sempat berpikir jika semesta tidak pernah bersikap adil dengannya. Seolah - olah semua luka, rasa sakit serta penderitaan selalu dilimpahkan padanya.

Revan ingin bahagia, tapi kenapa rasanya sangat sulit menggapai semuanya? Seolah - olah semuanya sudah di batasi oleh takdir. Semua sudah memiliki porsinya masing - masing. Dimana orang - orang dengan kebahagiaan, sedangkan dirinya dengan penderitaan.

"Lemah banget sih lo, Re. Baru segini doang udah mau pingsan. Gimana kalau di jemput malaikat pencabut nyawa beneran? Otw mati dah lu" ujarnya seorang diri, sebelum akhirnya melanjutkan langkahnya.

—Revan—

R E V A NTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang