34. Ingin Egois

4.7K 615 35
                                    

Jika boleh jujur, Revan benar - benar lelah dengan takdir hudupnya sendiri. Revan bahkan tidak tau harus menjabarkannya seperti apa lagi. Semuanya terlalu sulit untuk ia ungkapkan melalui kata - kata. Karena pada kenyataannya ia benar - benar sudah tidak kuat lagi.

Berpura - pura mungkin salah satu keahliannya, tapi jika di lakukan terus menerus juga rasanya sia - sia. Revan hanya lelah jika harus bersikap seolah semuanya baik - baik saja, Revan lelah jika harus bersikap tegar disaat dirinya sendiri tidak mengerti arti tegar yang sesungguhnya.

Semuanya ia lakukan semata - mata untuk kebaikan semua orang. Ia bahkan tidak peduli jika tindakannya akan melukai dirinya sendiri. Yang terpenting, orang - orang di sekitarnya bahagia. 

Tapi bukankah setiap orang memiliki batas kemampuannya masing - masing? Dan kini— rasanya Revan benar - benar sudah tidak kuat lagi. Jangankan untuk berpura - pura, berdiri dengan kedua kakinya pun rasanya Revan sudah tidak sanggup lagi.

"Gue bahkan udah lupa kapan terakhir kali gue kaya gini" lirih Revan seraya mengamati pantulan wajahnya pada cermin. Revan menarik nafas panjangnya, tangannya bahkan terangkat untuk menyentuh bibirnya yang kian memucat. Sosoknya sempat tersenyum miris sebelum akhirnya mulai membasuh wajahnya. Berharap dengan cara tersebut tidak ada yang akan mencurigainya.

Jika boleh jujur, Revan benci dengan takdir hidupnya sendiri. Revan bahkan tidak pernah merasakan kebahagiaan sedikitpun. Seumur hidupnya hanya luka yang mengisi hari - harinya. Dan berpura - pura adalah pelengkapnya.

Revan tau, jika tidak seharusnya ia membenci takdir. Karena percaya atau tidak, semua mungkin akan indah pada waktunya. Tuhan tidak mungkin memberikan cobaan melebihi batas kemampuan umatnya, jadi tidak seharusnya ia mengeluh bukan?.

"Lo cowok bukan sih? Perasaan cengeng banget" lirihnya seraya mengamati pantulan dirinya pada cermin.

Tidak bisa di pungkiri memang, semakin hari wajahnya memang semakin pucat. Belum lagi akhir - akhir ini dirinya sangat sering mimisan. Revan takut, jika apa yang selama ini coba ia sembunyikan diketahui oleh orang lain.
Sudah cukup keberadaannya menjadi beban untuk keluarganya, dan Revan tidak ingin jika semuanya akan bertambah kacau jika mereka sampai mengetahui perihal sakitnya.

Revan tau, rahasia sebesar ini tidak seharusnya ia sembunyikan. Tapi jika dikatakan sekalipun rasanya akan percuma. Karena baik ayahnya maupun Darren, mereka bahkan tidak pernah peduli sama sekali.

"Ternyata lo disini, btw lo gak papa kan?" Tanya Vano yang sukses membuat Revan mengalihkan atensinya.

"Akhir - akhir ini gue sering banget mimisan" ujar Revan seraya mengulum senyum tipisnya, sedangkan Vano? Laki - laki tersebut hanya bisa menarik Revan kedalam pelukannya.

Bohong jika Vano mengatakan dirinya tidak tau apa - apa. Ia tau, bahkan ia tau semuanya. Karena percaya atau tidak, hanya Vano satu - satunya orang yang paling Revan percaya. Revan bahkan tidak pernah ragu untuk menceritakan sisi buruk di hidupnya pada Vano. Sedangkan Vano? Laki - laki tersebut akan senantiasa menjadi pendengar yang baik untuk sahabatnya.

"Mukak lo pucet banget, Ree"

"Gue takut, Van"

"Lo pasti sembuh, percaya sama gue" ujar Vano seraya menangkup wajah Revan menggunkan kedua tangannya. Berharap dengan cara tersebut Revan bisa mendapatkan kembali ketenangannya.

"Obat lo udah diminum?" Tanya Vano yang langsung di jawab gelengan pelan oleh Revan.

"Udah makan?" Lagi, Revan hanya bisa menggeleng pelan sebagai jawaban.

Vano berdecak kesal sebelum akhirnya menoyor pelan kepala Revan. Tidak habis pikir dengan jalan pikiran sahabatnya, bagaimana mungkin laki - laki tersebut lupa meminum obatnya?.

"Kita ke kantin sekarang" ujar Vano sebelum akhirnya menarik pelan tangan sahabatnya menuju kantin. Mengabaikn jika saat ini sosok Revan hanya bisa mengulum senyum tipisnya. Percaya atau tidak, Revan merasa beruntung bisa memiliki sahabat sebaik Vano. Bahkan rasanya ia jauh lebih dekat dengan Vano di bandingkan keluarganya sendiri.

Keduanya tampak memasuki areal kantin dengan Vano yang sengaja memimpin jalannya. Suasana kantin saat ini bisa di bilang cukup ramai, mengingat bel istirahat baru saja berbunyi sekitar lima menit yang lalu.

"Lo tunggu disini, biar gue pesenin makanan buat lo" ujar Vano yang langsung di jawab anggukan pelan oleh Revan. Sedangkan Vano? Tanpa mengulur waktu lebih lama lagi, sosoknya terlihat membawa langkahnya menuju antrian. Meninggalkan Revan yang saat ini hanya bisa menelungkupkan wajahnya pada meja.  Badannya lemas, serta kepalanya yang masih terasa pusing sukses membuat Revan kehilangan semangatnya.

"Nih makanan lo" ujar Vano seraya meletakkan satu bungkus nasi lengkap dengan air mineral di atas meja.

"Buruan makan, kalau lo lupa lo harus minum obat" Layaknya seorang kakak, Vano terlihat begitu telaten membantu Revan. Mulai dari membukakan minuman, sampai dengan membantunya makan. Bukan apa - apa, Vano hanya tau jika saat ini kondisi Revan bisa di katakan jauh dari kata baik.

"Buka mulut lo"

"Gue bisa sendirii, Van"

"Yakin?"

"Iya yakinn" balas Revan yang sukses membuat Vano menyerahkan makanannya pada Revan.

"Habisinn" ujar Vano seraya mengusak pelan rambut Revan, sedangkan Revan? Laki - laki tersebut hanya bisa mengangguk patuh sebagai jawaban.

Keduanya terlihat hanyut dalam candaan masing - masing, mengabaikan jika saat ini sosok Darren tengah mengamati mereka dari jauh. Tangannya mengepal erat seiring dengan tatapan tajamnya yang mengarah pada Vano.

Ia benci Vano—
Ralat, lebih tepatnya pada interaksi keduanya.
Entah kenapa Darren merasa tidak rela jika melihat Revan dekat dengan orang lain.

Bolehkah Darren egois?

—Revan—

R E V A NTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang