30. Mahawira Aldebaran

5K 598 35
                                    

Plakkk

Satu tamparan sukses mendarat dengan mulus di pipi Revan, siapa lagi pelakunya jika bukan Wira, ayahnya. Revan sempat meringis pelan sebelum akhirnya menatap lirih kearah sosok di hadapannya.

Revan tidak tau salahnya apa, bahkan ia sendiri kaget dengan kedatangan Wira yang begitu tiba - tiba. Dan bodohnya juga, Revan sempat berpikir jika laki - laki itu datang karena mengkhawatirkannya. Tapi sayang, dugannya salah. Bukannya menanyakan tentang keadaannya? Laki - laki itu justru menghadiahinya dengan sebuah tamparan keras.

"Paaaa?"

"Kenapa? Mau ngadu lagi? Sana ngadu. Bilang ke semua orang kalau saya itu bukan ayah yang baik. Bilang!!" Teriak Wira yang sukses membuat Revan mengernyit bingung. Karena jujur, dirinya bahkan tidak tau apa maksud dari perkataan Wira tadi.

"Maksud papa apa? Sumpah aku gangerti"

Wira terkekeh sinis sebelum akhirnya menarik paksa Revan agar turun dari atas brankar, mencengkram kuat tangannya dan mulai mendorongnya hingga tersungkur kelantai. Revan sempat meringis pelan, setidaknya tepat setelah selang infus ditangannya tercabut tanpa sengaja.

Darah mulai mengalir di punggung tangannya, tapi laki - laki tersebut memilih untuk mengabaikannya. "Paaa?"

"Udah puas kamu? Udah puas kamu mencuci otak putra saya hah? Gara - gara kamu, Darren sudah berani melawan perintah saya!" Teriak Wira lengkap dengan aura tajamnya, mengabaikan jika saat ini sosok Revan benar - benar takut karenanya.

"Kamu pikir kamu itu siapa? Kamu sadar? Keberadaan kamu di rumah saya gak lebih dari seorang benalu. Jadi setidaknya kalau gak mau di usir, berhenti untuk nyusahin saya. Apalagi sampai meracuni otak putra saya!"

"Apa aku ga seberarti itu di mata papa?" Lirih Revan seraya menatap sendu kearah ayahnya. Sedangkan Wira? Bukannya menjawab, laki - laki itu justru mengalihkan atensinya dari arah Revan.

"Setelah apa yang kamu lakukan kepada keluarga saya? Kamu masih berharap kalau keberadaan kamu itu penting?"

"Mama meninggal juga bukan kemauan aku, pa"

"Tapi gara - gara kecerobohan kamu, saya harus kehilangan istri saya Revan" Revan memejamkan matanya, kata - kata Wira sukses meluluh lantahkan perasaannya.

"Revan harus apa, pa? Revan harus apa supaya kalian bisa maafin Revan? Jujur, Revan capek pa" tangis Revan pecah saat itu juga.

Bukannya iba, Wira justru tertawa remeh sebelum akhirnya menarik kasar dagu Revan agar menghadap kearahnya. "Apa kalau saya minta kembalikan Rossa, kamu akan mewujudkannya?"

"Nggak kan?" Ujar Wira seraya mendorong kembali sosok Revan, tidak peduli jika tindakannya sukses membuat Revan tersungkur.

Revan menggigit ujung bibirnya, berusaha mati - matian untuk menahan isak tangisnya. Air matanya bahkan jatuh tanpa bisa ia cegah sebelumnya. "Apa gak ada harapan sedikit aja buat aku pa? Aku pengen ngerasain kasih sayang papa"

"Gak usah mimpi kamu. Bahkan kalau kamu mati sekalipun, saya gak mungkin bisa sayang sama kamu"

"Sebenci itu papa sama aku?"

"Kamu masih nanya?"

"Kalau papa benci sama aku, kenapa papa pertahanin aku sampe sekarang?" Lirih Revan seraya menatap kosong kearah ayahnya.

"Buat apa lagi kalau bukan sebagai bahan pelampiasan?"

Revan tersenyum, setidaknya untuk saat ini ia tau alasan dibalik sikap kasar ayahnya. Setidaknya untuk sekarang ia tau jika keberadaannya tidak lain hanya sebagai bahan pelampiasan ayahnya. Meskipun rasanya sakit, tapi Revan sama sekali tidak bisa membenci ayahnya. Karena sejahat - jahatnya Wira, laki - laki tersebut tetaplah ayahnya bukan?

Tugasnya saat ini bukanlah mengeluh, tapi menerima semua perlakuan Wira. Baik atau buruknya, biar ia sendiri yang merasakannya. Asal Wira bahagia, Revan pun akan berusaha sebisa mungkin untuk bahagia.

"Paa, papa tau ga? Mau sejahat apapun papa sama aku, aku tetep sayang sama papa. Aku bahkan gak peduli sama perlakuan kasar papa selama ini, asal papa bahagia aku juga bahagia pa"

"Aku tau kalau keberadaan aku disini cuma nyusahin kalian, aku tau kalau keberadaan aku cuma jadi beban buat kalian. Jadi kalau papa mau, papa bisa usir aku sekarang" lanjut Revan seraya menatap sendu kearah Wira. Ia merasa jika ia pergi semuanya akan baik - baik saja.

"Kamu pikir kamu siapa? Bisa apa kamu tanpa saya? Kalau kamu lupa, selama ini kamu hidup dengan uang saya, Revan"

"Kalau dengan cara pergi bisa buat papa bahagia, kenapa engga?"

"Kamu pikir saya bakal lepasin kamu gitu aja? Engga Revan, saya gak bakal biarin kamu pergi gitu aja" ujar Wira sebelum akhirnya pergi dari tempat tersebut. Meninggalkan Revan yang saat inu hanya bisa menundukkan kepalanya. Air matanya kembali jatuh, dan tangisnya juga pecah saat itu juga.

Ia bukannya cengeng, tapi bukankah setiap orang memiliki hak untuk menangis? Tidak peduli mau perempuan ataupun laki - laki. Karena pada dasarnya semua orang memiliki perasaan bukan? Semua orang juga akan menangis jika perasaannya di lukai terlalu dalam.

"Maa, Revan capek"

—Revan—

R E V A NTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang