67. Ayo Cerita Darren!

3.6K 398 11
                                    

Saat ini Revan sedang berada di UKS, sejujurnya ia sudah menolak. Tapi bukan Darren namanya jika tidak pandai memaksa. Sedangkan Revan? Laki - laki itu lebih memilih untuk menurut daripada harus berakhir dengan pertengkaran.

Revan menyandarkan tubuhnya, setidaknya tepat setelah sosok Vano memberinya air. Tangan Vano bahkan terangkat untuk menyentuh dahinya, Revan mengernyit bingung— mengingat jika saat ini dirinya tidak demam sama sekali.

"Ngapain lo?"

Vano terkekeh, kali ini tangannya justru beralih pada hidungnya. Memencetnya asal yang sukses membuat Revan meringis pelan. "Sakit bego"

"Lo ngapa dah, Van?" Kali ini Adrian mulai menimpali, sebab tidak biasanya Vano akan bertindak seaneh ini.

Sedangkan Vano, laki - laki tersebut hanya bisa menunjukkan wajah coolnya, berlagak jika saat ini dirinya adalah dokter profesional. "Dari segi pengambilan nafas udah perfect banget sih, cuman masih kurang dari segi pengambilan nyawa aja"

Baik Adrian maupun Revan, keduanya sama - sama kompak membulatkan matanya. Bagaimana tidak, mengingat apa yang baru saja Vano katakan tadi. Oh ayolah, meskipun sakit - sakitan, Revan juga tidak terima dengan penghinaan yang baru saja Vano lontarkan.

"Van, lo udah pernah ngerasain ini ga?" Tanya Revan seraya mengangkat kepalan tanganya keudara. Sedangkan Vano? Laki - laki tersebut hanya bisa menunjukkan cengiran khas andalannya.

"Canda ganteng"

Revan memutar bola matanya malas sebelum akhirnya memilih untuk beranjak dari tidurnya, "Mau kemana lo?"

"Gue mau ke kelas aja, disini sumpek" balas Revan yang langsung dijawab anggukan pelan oleh Adrian.

"Tapi mending lo tunggu Darren dulu, takutnya dia nyariin"

"Darren mana?"

"Darren lagi beli sarapan buat lo, katanya lo harus minum obat"

Revan menghela nafas sebelum akhirnya mengangguk pelan sebagai jawaban. Saat ini Revan benar - benar merasa jika dirinya selalu menyusahkan Darren.

"Gue jadi gaenak sama, Darren"

"Kenapa? Kalau lo lupa dia kakak lo, Ree"

"Gue tau, tapi gue ngerasa kalau gue cuma jadi beban aja di hidup dia"

"Kata siapa?" Tanya Darren yang sukses membuat ketiganya mengalihkan atensi. Entah sejak kapan Darren berdiri disana lengkap dengan kantung plastik berisi makanan di tangannya.

Darren menghela nafas pelan sebelum akhirnya mendekat kearah Revan, kantung plastik tersebut ia letakkan pada nakas sedangkan netranya terlihat mengamati wajah adiknya.

"Harus berapa kali gue bilang sama lo? Lo gak pernah nyusahin gue, Ree"

"Tap—"

"Gak ada sejarahnya seorang kakak terbebani gara - gara adiknya sendiri" lanjut Darren seraya membenahi tatanan rambut Revan.

Revan mengulum senyum tipisnya, "boleh gue bilang tapi?"

"Engga ada tapi - tapian lagi" ujar Darren yang sukses membuat Revan menghela nafasnya pelan.

"Mending sekarang lo makan, gue udah beliin nasi buat lo" ujar Darren seraya mengeluarkan bungkus nasi tersebut dari dalam plastik.

"Kita dapet juga gak nih?" Celetuk Vano lengkap dengan cengiran khasnya.

"Ada, ambil aja disana"

"Yang kaya gini nih, baru gue demen" Adrian menimpali

"Namanya juga makanan, siapa sih yang gak suka" celetuk Revan lengkap dengan gelengan pelannya. Tidak mengerti lagi dengan jalan pikiran kedua sahabatnya.

Tok tok tok

Seluruh pasang mata tampak mengalihkan atensinya kearah sumber suara, Revan tersenyum— setidaknya tepat setelah netranya menangkap keberadaan Raska disana.

"Gue boleh masuk?" Tanya Raska sedikit ragu, sebab ia juga merasa tidak enak jika harus menganggu waktu Revam dengan teman - temannya.

"Justru gue lebih seneng lo disini, Ras" balas Revan yang sukses membuat Raska mengulum senyum tipisnya.

"Lo gapapa kan? Kata anak - anak tadi lo pingsan"

"Gue udah gapapa, tapi thank's ya udah khawatirin gue"

Raska mengangguk pelan sebelum akhirnya memilih mengedarkan pandangannya. Netranya terlihat mengamati setiap sudut ruangan tersebut, bohong jika Raska mengatakan fasilitas sekolah ini buruk. Karena yang ia lihat sekarang bahkan nyaris sempurna.

"Udah kali ngeliatinnya, gue tau sekolah gue bagus. Jadi lo gak bakal nyesel pindah kesini" ujar Revan yang sukses membuat Raska memutar bola matanya malas.

"Wait - wait, lo murid baru?" Tanya Vano seraya mengamati sosok dihadapannya.

"Pantesan aja gue ngerasa asing sama muka lo"  Adrian menimpali, sedangkan Raska? Laki - laki tersebut hanya bisa mengangguk pelan sebagai jawaban.

"Oiya gue sampe lupa ngenalin lo ke temen - temen gue—"

"—Ras, ini Adrian sama Vano yang waktu itu sering gue ceritain. Kalau lo lupa, gue bahkan sempet janji buat ngenalin mereka ke lo—"

"—Dan buat lo berdua, kenalin ini Raska"

"Ohh jadi ini yang namanya Raska" celetuk Vano seraya merangkul pundak Raska. Mengabaikan jika saat ini Revan hanya bisa terkekeh pelan menanggapinya.

"Gue udah denger banyak cerita tentang kalian dari Revan" balas Raska lengkap dengan senyum ramahnya.

"Tapi Revan ga ngomongin kita yang jelek - jelek kan?" Tanya Adrian yang sukses membuat Raska tampak berpikir.

"Ada banyak"

Ketiganya tampak asik bercerita tentang diri mereka masing - masing, mengabaikan jika saat ini sosok Darren hanya bisa mengamati mereka dalam diam.

"Darr, lo kenapa?" Tanya Revan, setidaknya tepat setelah ia merasa ada yang di sembunyikan oleh Darren. Laki - laki itu sedang tidak baik - baik saja, Revan tau itu.

"Gapapa" balas Darren lengakap dengan senyuman tipisnya.

"Darren" lirih Revan seraya menarik tangan kakaknya. Netranya bahkam menatap sendu kearah Darren, berharap laki - laki tersebut mau menceritakan apa yang saat ini menjadi beban pikirannya.

Revan

R E V A NTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang