"Lo mau makan apa? Gue buatin" ujar Darren seraya membawa langkahnya menuju dapur. Tidak ada yang berubah dari kakaknya tersebut, datar dan cenderung cuek. Tapi Revan berani jamin, jika Darren sangat menyayanginya.
"Mending ga usah deh, ntar kalau papa tau bakal panjang urusannya. Gue ga mau kalau lo ikut kena marah juga" tolak Revan pelan, sedangkan tidak jauh dari posisinya berada— sosok Darren hanya bisa memutar bola matanya malas.
"Masalahnya bakal tambah panjang kalau lo mati gara gara telat makan" balas Darren cuek, sosoknya terlihat begitu santai, tidak peduli jika kata-katanya sukses membuat Revan mengelus dadanya pelan.
"Gue mati, lo party" sindir Revan lengkap dengan nada kesalnya. Sedangkan Darren, bukannya peduli— sosok tersebut justru membuat Revan semakin kesal.
"Jangan mati dulu, tabungan gue belum cukup buat party soalnya"
"Andai aja lo bukan kakak gue Darr, udah
gu—""Udah apa?" Tanya Darren yang sukses membuat nyali Revan menciut seketika. Bagaimana tidak? Mengingat bagaimana sosok tersebut mengarahkan pisau dapur kearahnya dengan begitu santai.
"Gak jadii"
"Mending lo duduk, ga usah gangguin gue lagi masak"
"Lo ga mau gue gangguin, atau emang lo gamau kalau gue liat lo naruh racun di makanan gue?" Lagi, pertanyaan bodoh tersebut kembali terlontar dari bibir Revan.
Darren menghela nafas pelan, berusaha untuk bersabar— meskipun rasanya sangat susah. Ia bahkan tidak habis pikir dengan jalan pikiran adiknya. Ia bahkan ragu, apakah Revan benar-benar adiknya atau anak jin tomang? Karena rasanya sangat mustahil jika Revan adalah anak manusia.
"Kalau gue mau, gue bisa aja masukin tuh racun ke mulut lo sekarang. Ga perlu tuh pake acara buat makanan dulu"
"Racunin guenya kapan kapan aja ya? Katanya tabungan lo masih belum cukup buat ngadain party"
"Itu lo tau"
"Tau lah, gue kan pinter"
"Gausah banyak bacot, mending sekarang lo duduk. Ga usah banyak tingkah, ga usah gangguin gue. Itupun kalau lo mau makan cepet dan ga ketahuan bokap" Darren memperingati, sedangkan Revan hanya bisa menunjukkan cengiran khas andalannya.
"Siap laksanakan bos"
Darren menghela nafas pelan, sebelum akhirnya melanjutkan aksi memasaknya. Hal yang pertama kali ia lakukan adalah menyiapkan bahan-bahan yang akan ia gunakan. Mulai dari beberapa sayuran seperti daun bawang, kol, tomat dan seledri sebelum akhirnya beralih menuju kulkas untuk mengambil tiga butir telur.
Omelete, sepertinya hanya itu yang saat ini bisa Darren buat. Bukan karena dirinya tidak bisa memasak, hanya saja ia memilih untuk memasak sesuai dengan bahan yang tersedia.
Butuh waktu sekitar lima menit lamanya untuk Darren menyelesaikan masakannya. Sosoknya bahkan terlihat begitu cekatan dalam memindahkan telur tersebut dari dalan pan ke sebuah piring yang sudah ia isi nasi sebelumnya.
"Mau pake saos tomat apa saos cabe?" Tanya Darren dengan sedikit berteriak, mengingat jika Revan duduk sedikit jauh dari posisinya saat ini.
"Pake kecap manis aja" lihat, bukannya menjawab sesuai pertanyaan Revan justru menjawab diluar prediksi seorang Darren.
Sudah Darren katakan bukan? Jika Revan adalah satu-satunya spesies manusia ter-aneh yang pernah ia kenal. Dan sayangnya, laki laki itu justru berstatus sebagai adiknya. Sangat menyebalkan bukan?
"Pake kecap, terus kecapnya banyakin ya" celetuk Revan lagi yang sukses membuat Darren menghela nafas pelan.
"Kalau lo lupa, lo itu udah ga boleh makan makanan yang terlalu manis" Darren mengingatkan, bukan apa apa— dirinya hanya tidak ingin jika Revan jatuh sakit, mengingat bagaimana laki-laki tersebut sangat menyukai makanan dengan cita rasa manis.
"Yaelah, jarang-jarang gapapa kali Darr"
"Kalau gue bilang engga, ya engga! Mending sekarang lo makan, sebelum papa dateng terus liat lo lagi makan" ujar Darren yang sukses membuat Revan menghela nafas kecewa.
"Lo ga makan?"
"Udah"
"Mau patungan ga?"
"Engga, lo makan aja"
"Tapi takut ga habis, Darr"
"Habiss!!"
"Iya habiss" balas Revan pada akhirnya. Karena percuma juga dirinya melawan, toh dirinya akan selalu kalah jika harus berdebat dengan seorang Darrendra Aldebaran
"Tadi kenapa pulang telat?"
"Ada urusan"
"Urusan apa? Lo udah tau kalau papa pulang sekarang, seharusnya lo udah bisa planing dari awal biar kejadiannya ga kaya gini. Lagian sepenting apa sih urusan lo?" Tanya Darren yang sukses membuat Revan menghentikan aksi makannya. Sosoknya terlihat menghela nafas pelan, sebelum akhirnya kembali angkat bicara.
"Lo liat bibir gue sekarang" ujar Revan seraya menunjukkan sudut bibirnya yang terluka. Darren mengernyit, sebab dirinya baru menyadari jika ada memar di sudut bibir adiknya.
"Siapa?"
"Siapa lagi kalau bukan musuh lo. Lagian lo gatau aja ya? Disaat gue udah bela-belain mau pulang cepet, eh gue malah di cegat mereka. Udah gitu anak buahnya banyak lagi, untung gue pernah ikut extra silat pas SMP. Kalau engga, udah jadi mpek-mpek gue" Revan menjelaskan dengan begitu santai, masih belum sadar jika saat ini sosok Darren berusaha mati-matian untuk menahan emosinya.
"Tapi lo gapapa?"
"Gapapa, buktinya gue pulang dengan keadaan utuh. Tangan masih dua, kaki juga utuh, hidung masih, mata juga masih. Oh iyaaaa..... ada yang kurang"
"Apa?"
"Kadar kegantengan gue berkurang satu persen!"
"Ga usah becanda bisa?" Tanya Darren lengkap dengan nada tajamnya, sedangkan Revan hanya bisa mempoutkan bibirnya kesal. Padahal dirinya berbicara serius, tidak bercanda sama sekali. Dasar Darren jelek.
—Revan—
KAMU SEDANG MEMBACA
R E V A N
Teen Fiction"Kalau jalan tu pake mata, ngerti kata hati-hati ga sih?" -Darrendra Aldebaran "Ya gimana mau hati hati, orang mata gue aja lo tutupin gini" -Revan Aldebaran Start ; 07 Januari 2021 Finish ; 14 April 2021