Vandra || 39

48 5 0
                                        

Sudah tiga hari sejak kecelakaan itu terjadi. Keadaan Adiba belum menunjukkan perubahan yang berarti. Cewek itu masih terbaring kaku dengan tubuh terhubung impus dan peralatan medis lainnya, yang mana hal tersebut benar-benar memukul Vandra telak. Cowok dengan kaos putih dan bawahan hitam itu kini tengah duduk bersandar pada kursi yang ada di luar ruangan ICU.

Tidak hanya dia, ada Shakeela dan teman-temannya juga sahabat-sahabat Vandra. Setelah pulang sekolah dan mengganti pakaian, mereka langsung ke rumah sakit. Vandra sendiri juga sudah mulai masuk sekolah dari pagi tadi. Keadaan cowok itu telah membaik, luka pada siku juga kakinya sudah mengering.

Vandra beranjak dari duduknya ketika Dava baru saja keluar dari ruangan tersebut. Sejak tadi, Vandra sungguh tidak sabar menunggu gilirannya untuk membesuk Adiba di dalam.

"Gimana keadaan Adiba?" Pertanyaan pertama yang terlontar dari bibir Vandra ketika Dava baru saja menutup pintu rapat.

"Masih sama," balas cowok itu singkat.

Tidak ada Nina di sana sebab wanita itu baru saja keluar untuk membeli makan siang setelah kedatangan Vandra dan yang lainnya.

Seusai meminta izin petugas dan menggunakan baju khusus ruangan, Vandra masuk dengan perasaan takut. Takut melihat keadaan Adiba dari dekat, takut jika ia tidak akan sanggup melihat kondisi pacarnya itu.

Berjalan perlahan, Vandra menuntun kakinya untuk mendekat ke arah Adiba. Cowok itu menelan ludah begitu dirinya berada tepat di samping ranjang tempat Adiba berbaring.

"Dib," lirihnya.

"Dib, bisa denger aku?" Suara Vandra bergetar.

Mendongak untuk menghalau air mata yang siap jatuh, Vandra menarik napas dalam-dalam kemudian menghembuskannya kasar. Demi apa pun, dada Vandra tiba-tiba sesak melihat kondisi Adiba.

Menatap ke sembarang arah, Vandra berdehem pelan untuk menormalkan suaranya. Cowok itu menyentuh sebelah tangan Adiba sembari menarik sudut bibirnya berusaha menampilkan senyum yang sayangnya tidak terlihat seperti sebuah senyum saking tipisnya.

"Dib, aku udah mulai sekolah." Vandra berhenti sejenak. "Tadi pelajaran Pak Badrul. Kata beliau nggak seru di kelas kalau nggak ada murid kesayangannya. Buk Siti juga kangen kamu katanya." Vandra terkekeh kecil.

"Kamu cepat bangun, ya. Aku nggak ada tempat nyontek loh nantinya."

Vandra menggigit bibir bawah untuk menyalurkan perasaan sesak yang menghimpit dada. Nyatanya, kalimat gurauan tadi tidak membantu dirinya untuk bersikap lebih baik. Akan tetapi, sebisa mungkin Vandra berusaha agar suaranya tidak bergetar lagi.

"Dib, banyak yang sayang sama kamu. Banyak yang butuh kamu. Kamu harus kuat, ya, harus sembuh. Shakeela sama yang lain ada di luar, mereka juga kangen main bareng kamu." Vandra lagi-lagi menarik napas dalam lalu membuangnya.

"Dib, Aku, Ibu, Dava dan semuanya sayang sama kamu. Kamu harus bangun buat kita, buat diri kamu sendiri."

Candra membawa tangan Adiba ke bibirnya, mencium lembut.

"Sampai kapan pun, kamu nggak akan sendiri, Dib. Ada aku dan yang lainnya selalu nemenin kamu di sini. Kamu jangan takut, jangan pernah merasa sendiri. Yang kuat, jangan nyerah."

*****

"Nih, makan."

Mahendra meletakkan sebungkus roti dan sebotor air di meja Vandra. Cowok itu baru saja dari kantin dan ia memutuskan ke kelas terlebih dahulu untuk membawakan Vandra makanan. Mahendra kemudian duduk di bangku Adiba yang berada di samping tempat duduk Vandra.

Vandra [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang