Vandra || 05

67 14 27
                                    

Adiba berjalan seorang diri dari halte menuju sekolahnya. Jarak halte dari SMA Kartika cukup dekat, sekitar 200 meter. Selama perjalanan, Adiba memeluk buku yang dibawanya begitu erat. Hawa dingin yang menusuk kulit membuatnya merinding. Terlebih, hari ini ia datang lebih pagi dari biasanya.

Memasuki gerbang sekolah, Adiba tersenyum ramah kepada Pak Lukman--satpam di sekolahnya--yang dibalas senyum kecil oleh laki-laki paruh baya itu. Meski terlihat dingin dan kaku, tetapi Adiba tentu tidak melupakan sopan santun kepada orang yang lebih tua.

Cewek itu terus berjalan sampai akhirnya tiba di perpustakaan. Ia membuka pintu kemudian meletakkan tas dan beberapa buku yang dibawanya tadi di atas meja. Adiba meraih sapu yang ada di pojok dekat jendela lalu mulai membersihkan ruangan tersebut.

Selama lima bulan terakhir, hal ini selalu dilakukannya setiap pagi. Menyapu ruangan perpustakaan di pagi hari dan merapikan buku-buku yang berceceran di siang hari. Mengambil pekerjaan ini membuatnya datang lebih awal dan pulang harus paling akhir.

Meski upah yang didapatnya dari sekolah tidak seberapa, tetapi Adiba cukup bersyukur. Setidaknya ia tidak perlu meminta uang saku pada ibunya. Lagi, ia juga tidak perlu membayar uang bulanan seperti teman-temannya yang lain karena ia mendapat beasiswa gratis untuk melanjutkan sekolah di SMA-nya sekarang. Bermodal nilai dan juga didukung keadaan ekonominya, Adiba bisa merasakan sekolah di salah satu SMA terbaik di kotanya.

Adiba sangat berterimakasih kepada Buk Ika yang merekomendasikannya untuk mendapat pekerjaan ini. Meski terkadang malu kepada teman-teman sekolahnya, tetapi Adiba harus memaksakan diri. Keadaan ekonomi menuntunnya melakukan itu semua.

Sebagai salah satu murid teladan, Adiba mendapat kepercayaan penuh dari sekolahnya. Ia bahkan dipercaya untuk memegang kunci perpustakaan. Hal ini untuk memudahkan pekerjaannya.

Buk Ika, sebagai penjaga perpustakaan tidak mungkin datang pagi setiap harinya. Jadi, gurunya itu memberikannya kunci cadangan sehingga Adiba tidak perlu menunggu beliau datang untuk mulai membersihkan ruang perpustakaan setiap paginya.

Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Adiba keluar lalu berjalan menuju kelas. Sudah lumayan ramai karena hampir setengah delapan. Ketika melewati koridor kelas X, Ia tak sengaja bertemu Vandra. Cowok itu tersenyum sembari melambaikan tangan. Adiba merasa risih sebab beberapa anak di dekat mereka mulai memperhatikan. Maklum, Vandra cukup terkenal di Cakrawala.

Jujur, Adiba bingung akan perubahan sikap Vandra. Beberapa hari ini cowok itu terus saja membuntutinya, seperti ingin mendekatinya.

"Baru sampai, ya?" tanya Vandra saat Adiba sudah sampai di dekatnya.

"Udah lama."

"Oh iya lupa, lo kan harus ke perpustakaan dulu." Vandra menepuk keningnya pelan.

Adiba rasa ia tidak perlu bingung dari mana Vandra mengetahuinya. Pekerjaannya itu sudah ditahu oleh sebagian besar murid di sekolahnya. Jadi, ia pikir tidak perlu bertanya lagi.

"Mau langsung ke kelas?"

Pertanyaan Vandra Adiba jawab dengan anggukan. Memangnya mau kemana lagi kalau tidak ke kelas? Adiba bukan siswi yang gemar keluyuran jika sudah ada di sekolah.

Tempat tujuannya selain kelas dan perpustakaan, paling ruang guru kalau gurunya meminta untuk membantu membawa tugas teman sekelasnya. Ke kantin pun sesekali dua kali. Ia lebih sering sarapan dirumah atau kalau tidak membawa bekal sendiri.

Vandra [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang