Vandra || 36

34 6 0
                                    

Vandra sudah berulang kali menghubungi Adiba. Mengirim pesan WhatsApp, pesan manual bahkan menelpon, tetapi Adiba tidak merespon. Bahkan sampai pagi ini, tidak ada tanda-tanda cewek itu membaca pesannya, centang satu masih terlihat jelas di bawah nama Adiba.

Sekecewa itukah Adiba terhadap dirinya?

Satu pertanyaan yang terus bermunculan di otak Vandra sejak kemarin sampai sekarang.

Tidak tahan akan pengabaian Adiba, Vandra memutuskan untuk menjemput cewek itu meskipun Adiba tidak membalas pesannya. Akan tetapi, setelah sampai di sana, Dava mengatakan kalau Adiba sudah berangkat. Rupanya Vandra terlambat.

Setiba di sekolah, Vandra segera mempercepat langkahnya. Cowok itu menata langkah lebar menuju perpustakaan. Di sana terlihat Adiba yang tengah menata beberapa buku yang tercecer. Gara-gara kejadian kemarin, Adiba sampai lupa menjalankan kewajibannya itu.

Vandra melangkah pelan mendekati Adiba. Adiba yang sadar akan kehadiran seseorang menengok sebentar lalu kembali melanjutkan kegiatannya. Tanpa sepatah kata, Vandra ikut melakukan apa yang Adiba lakukan, sedikit memberi jarak antara dirinya dengan Adiba. Agaknya mereka masih canggung satu sama lain akibat adu mulut kemarin.

"Dib, maaf." Vandra angkat suara. Berada dalam kesunyian berlama-lama bukanlah keahliannya.

"Maaf juga," balas Adiba. Cewek itu mengulum bibirnya. Sebenarnya ia juga berniat meminta maaf tadinya.

Vandra mendekat lalu meraih sebelah tangan Adiba. "Aku terlalu kebawa emosi kemarin. Sekali lagi maaf, Dib."

"Nggak apa-apa. Aku juga salah, harusnya aku nggak sampai segitunya. Maaf, Van, keadaan Ibu kemarin buat aku jadi lebih sensitif."

"Ibu kenapa?"

"Udah tiga hari ini Ibu sakit. Aku udah minta Ibu ke dokter tapi tetap nggak mau. Beruntungnya kemarin Ibu mau setelah dipaksa sama Dava."

"Terus keadaan Ibu sekarang gimana?" Nada khwatir sangat kentara di kalimat Vandra itu.

"Udah lumayan baik, Van. Sebenarnya nggak begitu parah kalau aja Ibu mau ke dokter dari pertama itu, tapi Ibu selalu bilang pasti sembuh sendiri."

"Kenapa kamu nggak cerita sama aku dan milih mendem sendiri gitu?"

"Nggak mau kamu khawatir yang ujung-ujungnya pasti bakalan ngerepotin kamu."

Vandra menghela napas kasar. Adiba terlalu tidak enakan orangnya. Vandra merasa tidak berguna sekarang. Harusnya ia mencaritahu sendiri sebelumnya.

"Jangan gini lagi, Dib. Aku justru merasa nggak guna. Tolong, kalau kamu ada masalah bilang ke aku. Aku nggak mau ada di saat kamu seneng aja."

Adiba tersenyum. Pacarnya itu benar-benar cowok yang baik dalamnya meskipun luarnya terlihat gila.

"Iya, lain kali aku cerita."

"Bagus. Nanti pulang bareng, ya. Aku sekalian mau jenguk Ibu."

"Iya. Oh, ya, kalau kamu chat, maaf nggak bales. Ponsel aku mati kemarin."

Rupanya itu alasan Adiba tidak membalas pesannya. Padahal Vandra sudah berpikir yang macam-macam, seperti Adiba kesal, Adiba kecewa, atau Adiba beneran marah dan lain sebagainya.

Vandra mengusap puncak kepala Adiba lembut. "Nggak usah mikirin itu lagi."

Lega, Vandra benar-benar merasa lega setelah berbaikan dengan Adiba. Berbeda dengan kemarin, Vandra tidak merasakan ketenangan barang sedetik pun. Pikirannya selalu dihantui oleh rasa bersalah yang berujung Adiba akan memutuskannya dalam bayangan cewok itu. Setakut itu Vandra jika Adiba akan mengakhiri hubungan mereka.

Vandra [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang