"Adiba tuh, Van."
Perkataan Mahesa membuat Vandra segera menengok ke arah cewek yang sedang berdiri sembari menenteng sebuah tas yang tak lain milik Vandra. Mengerti jika Adiba merasa tak nyaman, lebih tepatnya masih merasa canggung oleh keberadaan Mahendra dan yang lainnya, Vandra meminta keempat sahabatnya itu untuk pergi dari sana.
"Ya deh yang mau berduaan," komentar Mahesa lalu beranjak dari sana.
"Kita duluan, Van. Jangan macam-macamin anak orang lo."
"Gue bukan lo, ya, Lang."
Gilang tertawa kecil lalu menyusul yang lain untuk turun dari tempat tersebut.
Setelah keempat cowok itu tidak terlihat lagi, Adiba melangkah pelan menuju tempat Vandra duduk. Cewek itu mengedarkan pandangannya untuk meneliti tempat favorit pacarnya itu.
Beberapa bulan sekolah di Cakrawala, baru pertama kali ini Adiba menginjakkan kakinya di rooftop. Selain karena tidak punya kepentingan di sana, Adiba juga kadang merasa takut karena ia pikir kakak-kakak kelasnya juga sering ke tempat ini.
"Duduk sini."
Adiba menurut. Ia duduk di samping Vandra dengan menjadikan tas cowok itu sebagai pemisah di antara mereka.
"Nggak mau ngurangin ngerokok?" tanya Adiba saat matanya mengarah pada tumpukan puntung rokok yang ada di asbak.
Vandra menggaruk belakang lehernya seraya memperlihatkan deretan gigi putihnya. "Dalam proses, Dib," ujarnya.
Adiba hanya mengangguk. Ia tidak ingin memaksa Vandra lebih jauh. Mau menurut atau tidak, itu urusan Vandra. Seperti yang cewek itu katakan sebelumnya, ia tidak ingin menjadi pengekang. Cowok merokok itu wajar, kan? Asal tidak berlebihan saja, biarlah. Begitu menurut Adiba.
"Enak juga di sini, sejuk," ujar Adiba sembari mendongak lalu memejamkan mata. Merasakan angin sepoi-sepoi yang membelai wajahnya.
Vandra tidak dapat menahan kedutan di bibirnya melihat hal tersebut. Cowok itu mengulurkan tangannya untuk menyelipkan rambut Adiba ke belakang hingga membuat Adiba membuka matanya.
"Ngadem di sini sebentar sebelum pulang mau?"
"Boleh?"
Vandra otomatis terkekeh. "Nggak ada yang larang."
Cowok itu mengambil tas yang menjadi penghalang di antara mereka lalu meletakkannya di lantai. "Sanaan, Dib."
Adiba lagi-lagi menurut. Cowok yang menyandang status pacarnya itu langsung saja membaringkan tubuhnya pada bangku tersebut dengan menjadikan paha Adiba sebagai bantalnya.
"Heh." Adiba kaget, tentu saja. Ia pikir Vandra memang sengaja menyuruhnya duduk berjauhan dengan dirinya.
"Dib, aku boleh nanyak nggak?"
Adiba menunduk untuk melihat mata Vandra. "Boleh. Nanyak apa?"
"Sebenarnya dari dulu aku pengen nanyak ini, tapi rasanya nggak sopan nanyak soal privasi kamu sementara kita nggak ada hubungan apa pun waktu itu." Vandra menjeda kalimatnya. Menatap Adiba lama, baru cowok itu melanjutkan.
"Alasan kamu jadi cewek pendiam, dingin, cuek itu apa sih?"
Mengalihkan pandangan dari Vandra, Adiba lantas menjawab, "Dulu aku mikirnya terlalu dangkal. Aku pikir membuka diri dengan dunia luar itu selalu membawa dampak negatif. Nyatanya nggak juga. Lagi pula aku juga kadang nggak ada waktu buat main-main sama yang lain. Ibu butuh bantuan aku untuk buat kue. Kalau kata Ibu, aku mirip bapak. Bapak juga orangnya cuek gitu."

KAMU SEDANG MEMBACA
Vandra [Completed]
Teen FictionBlurb : Vandra tak pernah menyangka jika ia akan menaruh hati pada Adiba. Taruhan konyol yang ia lakukan bersama sahabat-sahabatnya justru berujung suka. Adiba, gadis kaku yang katanya tak mengenal cinta. Akankah Vandra mampu 'tuk memenangkan hatin...