"Berjalan lancar?"
Vandra membuka mata kala suara berat milik papanya mampir ke telinga. Ia menegakkan tubuhnya yang semula menyandar pada sofa lalu menyumbang senyum lebar yang sarat akan ejekan.
"Lancar tanpa halangan," jawabnya diikuti senyum miring andalannya.
Darka mengangguk. "Bagus." Darka duduk di sofa lalu meletakkan secangkir kopi buatannya.
"Papa kapan nyusul? Selingkuhan Papa pasti nggak sabar."
"Jangan bahas hal yang tidak penting!" kata Darka penuh penekanan.
Laki-laki paruh baya itu menyeruput kopinya kemudian meletakkan kembali pada meja kecil yang menjadi pemisah antara dirinya dengan anak semata wayangnya itu.
Sementara itu, Vandra terkekeh pelan. Cowok itu lantas berujar, "Sejak kapan selingkuhan Papa itu menjadi tidak penting? Bukannya selama ini dia selalu jadi nomor satu di kehidupan Papa?"
"Vandra!" Darka tidak bisa menahan lagi. Anaknya itu memang selalu berhasil menyulut emosi yang berusaha ia tahan setiap kali mereka berhadapan.
"Kenapa, Pa? Bukankah kenyataannya memang demikian?"
Vandra masih tampak santai tapi tidak dengan hatinya. Ia justru sedang berusaha menahan diri agar tidak menerjang papanya. Sungguh, Vandra marah. Marah karena papanya sudah menghancurkan rumah tangga keluarga mereka. Harapannya agar keluarga mereka kembali bersatu sudah tidak ada lagi dan ini semua karena kesalahan papanya.
Damar menghela napas berusaha menetralkan amarahnya. "Jangan dibahas lagi. Itu sudah berlalu."
"Sesuatu yang berlalu itu yang ngancurin semuanya dan Vandra nggak akan pernah bisa lupa."
Vandra beranjak dari duduknya kemudian berjalan ke kamar. Ia lelah, lelah fisik juga batin. Ia butuh istirahat setelah dari pagi hingga sore ini ikut meramaikan acara akad mamanya. Selama acara berlangsung, mamanya terlihat sangat bahagia dan Vandra turut senang melihat itu. Kebahagiaan mamanya adalah kebahagiaannya juga.
Namun, jika boleh jujur, Vandra lebih rela jika mamanya kembali bahagia bersama papa dan juga dirinya. Batinnya mengatakan kebahagiaan yang ia rasakan sekarang tidaklah sempurna.
Vandra merebahkan tubuhnya di atas kasur. Ia tatap langit-langit kamarnya lalu tanpa permisi bayangan mamanya kembali muncul.
"Mama udah punya kehidupan baru. Jaga diri baik-baik ya, Van."
Vandra tersenyum miris mengingat ucapan mamanya. Setelah hari ini ia tidak akan seleluasa sebelumnya jika ingin bertemu Fara. Meski adil mengatakan Vandra boleh ke rumah kapan pun ia mau, tetap saja Vandra merasa canggung.
Dulu, selama papanya tidak ada di rumah, Vandra memang lebih sering menginap di tempat mamanya, tapi sekarang tidak bisa. Pikirnya, ia tak akan punya tempat pulang lagi jika nanti merasa bosan atau mungkin bertengkar dengan papanya. Tidak mungkin jika ia terus-terusan ke rumah Gilang dan yang lainnya.
Untuk kesekian kali Vandra menghela napas. Cowok itu bangkit, ia berniat mandi sebab tubuhnya terasa lengket. Panas hatinya juga butuh ia redakan jika tidak ingin sesuatu yang ada di kamarnya menjadi sasaran amarahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Vandra [Completed]
Teen FictionBlurb : Vandra tak pernah menyangka jika ia akan menaruh hati pada Adiba. Taruhan konyol yang ia lakukan bersama sahabat-sahabatnya justru berujung suka. Adiba, gadis kaku yang katanya tak mengenal cinta. Akankah Vandra mampu 'tuk memenangkan hatin...