Vandra || 23

30 5 3
                                    

"Adiba belum ngasih lo jawaban?"

Vandra menoleh mendengar pertanyaan dari Gilang. Cowok yang sedang berbaring dengan sebatang rokok di bibirnya itu lantas menggeleng. "Belum," jawabnya setelah mengirup dalam rokoknya.

"Keren, Adiba bisa ubah lo seratus delapan puluh derajat. Lo yang dulunya suka telat jadi rajin, yang dulunya suka godain cewek jadi nggak lagi," celetuk Mahesa yang sejak tadi tidak mengalihkan pandangan dari layar ponsel. Cowok itu sedang bermain game.

"Gimana mau godain cewek lain, kalau yang bisa gue lirik cuma Adiba doang."

"Bucin gila," sahut Mahendra menanggapi ucapan Vandra.

Vandra terkekeh. "Jujur sih, ya, gue ngerasa Adiba bawa pengaruh baik buat gue, tapi ya, gitu, dia juga bawa pengaruh buruk."

Perkataaan Vandra sontak saja membuat keempat sahabatnya itu menoleh. Sedikit tidak menyangka jika Vandra akan mengatakan Adiba memberinya pengaruh yang buruk.

"Contohnya?" tanya Raka mewakili rasa penasaran yang lain.

"Jantung gue nggak pernah sehat setiap kali sama dia. Suka maraton."

"Kamvret!"

"Bangke!

"Gila!"

"Bucin!"

Vandra terbahak mendengar umpatan cowok-cowok yang sudah ia anggap seperti keluarga itu. Ia merasa lucu melihat bagaimana perubahan raut sahabat-sahabatnya setelah mendengar jawabannya tadi. Entah bagaimana bisa mereka percaya saat ia mengatakan bahwa Adiba membawa pengaruh buruk baginya.

Masih dengan kekehan khasnya, Vandra bangkit dari baringannya lalu mengambil tas dan menyampirkan di pundak kanannya.

"Gue duluan, ya. Mau nyusul my love."

Mahendra bergidik mendengar itu. "Musnah aja lo sana," ujarnya kemudian.

"Pergi dah lu, nggak mau gue punya temen bucin parah kayak lo," usir Mahesa sembari menggerakan tangannya.

"Ayolah, kalau nggak bucin nggak hidup," teriak Vandra seraya berjalan menuju tangga yang menjadi penghubung antara rooftop dan lantai tiga sekolahnya. Cowok itu kemudian mempercepat langkahnya menuju perpustakaan. Feeling-nya, Adiba sedang ada di sana sekarang.

Sesampainya di perpustakaan, Vandra membuka pintu perpustakaan pelan lalu menyembulkan kepalanya.

"Adiba ada di sini nggak, Buk?" tanya Vandra pada Bu Ika.

Bu Ika mengangguk membuat Vandra masuk sepenuhnya ke dalam perpustakaan.

"Adib---"

Bu Ika menghentikan ucapannya saat Vandra meletakkan jari telunjuknya di bibir, meminta gurunya itu agar diam. Kurang ajar sekali, kan, dia?

"Jangan dipanggil Adiba-nya, Bu. Saya mau ngasih kejutan buat dia. Boleh, kan, Bu?" bisiknya agar Adiba tidak mendengar.

"Adiba ulang tahun?"

Pertanyaan Bu Ika Vandra jawab dengan anggukan. Sebenarnya ia berbohong, hanya saja Vandra pikir Bu Ika akan diam jika seperti itu. Dan benar saja, guru muda itu tidak lagi bersuara, membiarkan Vandra berjalan mendekati Adiba.

Selain karena alasan itu, Bu Ika juga tahu kalau Vandra dan Adiba ini sedang dalam masa pendekatan dan melihat bagaimana perubahan Adiba sekarang, Bu Ika berpikir jika kedekatannya dengan Vandra lah yang membuat Adiba tidak lagi bersikap dingin.

Guru muda itu berasumsi jika kedua remaja itu sepertinya telah resmi menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih. Di sini, Bu Ika tidak bermaksud membiarkan muridnya berpacaran di perpustakaan, ia hanya memberi kesempatan Vandra untuk memberi kejutan seperti kata cowok itu. Ia yakin, kedua remaja itu tidak akan berbuat yang aneh-aneh.

Vandra [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang