Vandra || 16

28 5 0
                                    

"Dib, maaf, ya, kita bertiga nggak bisa nemenin kamu di perpustakaan," ujar Shakeela merasa tidak enak.

Adiba tersenyum. "Nggak apa-apa, Sha. Kalian nggak usah ngerasa nggak enak begitu."

Saat ini Adiba, Fira, Shakeela, dan Abella sedang jalan bersama di koridor kelas 12. Mereka hendak pulang, tetapi tentu Adiba harus ke perpustakaan terlebih dulu.

"Maaf, ya, Dib. Kalau gitu kita duluan ya."

Adiba mengangguk sembari membalas lambaian ketiga cewek itu.

"Dib, kalau ada apa-apa telepon aja kita," teriak Abella yang dibalas kekehan kecil oleh Adiba.

Sungguh, Abella itu tidak ada kalem-kalemnya, sangat berbeda dengan dirinya dan Shakeela. Yap, Abella itu sebelas dua belas dengan Fira.

Dari jaraknya sekarang, dapat Adiba lihat Fira dan Abella berbincang-bincang sembari tertawa, sementara Shakeela hanya sesekali menimpali dan tersenyum kecil. Waktu pertama mengenalkan Fira kepada Shakeela dan Abella, Adiba pikir akan sedikit sulit bagi Fira untuk beradaptasi dengan mereka sebab selama ini Fira selalu mengatakan anti berteman dengan anak IPA, selain dirinya.

Namun, lihat sekarang. Mereka bahkan tampak sangat akrab. Adiba merasa bersyukur melihat itu. Masih dengan senyum tipisnya, Adiba kemudian melanjutkan langkahnya menuju perpustakaan.

Sekolah sudah sepi, hanya ada beberapa orang yang masih berkeliaran. Maklum, bel pulang sudah berbunyi sejak setengah jam yang lalu. Kelas Adiba keluar paling akhir sebab jam terakhir tadi merupakan jam pelajaran Pak Badrul. Beliau memang tidak pernah tepat waktu. Masuk sebelum bel dan keluar selalu paling akhir.

"Van, kamu ngapain di sini?" tanya Adiba setelah sampai di perpustakaan. Cowok dengan baju seragam yang tidak dimasukkan itu tersenyum seraya menegakkan tubuhnya yang tadi bersandar pada tembok.

"Nungguin lo."

"Nggak usah nungguin aku, Van. Lebih baik kamu pulang duluan."

"Gue nggak denger lo ngomong apa, Dib," kata Vandra sembari menutup kedua telinganya dengan tangan. "Jadi, gue bakalan tetap di sini," lanjutnya kemudian.

Demi apa pun, Adiba tidak bisa menahan kedutan di bibirnya melihat tingkah Vandra. Adiba menggeleng-geleng lantas masuk ke dalam perpustakaan. Vandra menyusul dengan senyum lebarnya. Cowok itu merasa bahagia melihat Adiba tersenyum karena perbuatannya.

"Dib, ini naruhnya di mana?" tanya Vandra sembari mengacungkan buku paket biologi.

"Di tempatnya."

Vandra meringis mendengar jawaban Adiba.

"Itu, Van di samping kamu, udah ada tulisan di atasnya," ujar Adiba lagi.

"Oh iya, nggak lihat tadi," bohong Vandra. Sebenarnya ia tahu, hanya saja ia sengaja. Niatnya untuk memecah keheningan di ruangan tersebut.

"Makasih udah bantuin aku, Van. Lain kali nggak perlu, ya. Apalagi sampai nungguin gini."

Adiba mengambil tasnya lantas keluar dari sana. Kedua remaja itu kini berjalan bersisian.

"Duluan ya, Van," kata Adiba.

"Gue anterin, ya. Please, Dib. Gue nggak tenang rasanya ngebiarin lo pulang sendiri."

"Aku udah biasa, Van."

"Iya tau, tapi ini udah mau sore loh. Ayolah, Dib."

Adiba terlihat menimang-nimang. Jujur, ia merasa tidak enak terus-terusan menolak tawaran Vandra ini. Adiba menggigit pipi bagian dalamnya lalu mengedarkan pandangan. Sekolah sudah sangat sepi, Adiba pikir tidak akan ada yang melihat jika mereka pulang bersama.

Vandra [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang