Vandra || 27

30 4 0
                                    

Vandra merutuki dirinya sendiri sejak tadi. Ia masih tidak percaya bahwa dirinya akan melakukan hal memalukan hanya karena seorang cewek yang dicintainya menyukai orang lain. Vandra malu, malu kepada dirinya sendiri.

Masih terekam dengan jelas saat ia mengatakan kepada Rama terlalu lebay jika mereka harus musuhan hanya karena seorang cewek. Namun, apa yang ia lakukan beberapa hari ini justru sangat tidak sinkron dengan ucapannya kala itu. Ternyata memang benar, berbicara itu mudah sekali, tapi prakteknya sangat sulit.

Yang membuat Vandra juga merasa amat bersalah adalah orang yang ia diamkan, yang ia pukul karena perasaan cemburunya itu merupakan sahabatnya sendiri. Memikirkannya membuat Vandra mengacak rambutnya.

"Den, Vandra."

Panggilan Bi Ratih dari luar kamar mengalihkan perhatian Vandra. Cowok itu sempat mendengkus lalu beranjak dari kursi belajarnya untuk membuka pintu.

"Kenapa, Bik?"

"Di bawah ada teman-temannya, Den Vandra."

Vandra tidak terkejut, tentu saja. Sebab beberapa jam yang lalu Mahendara mengirimkan pesan bahwa mereka akan datang kemari.

"Iya, Bik. Makasih, ya."

"Iya, Den. Untuk minumnya apa, Den?"

"Yang ada aja, Bik."

Setelah mengatakan itu, Vandra menyeret kakinya menuruni tangga. Berjalan lebih dulu dibandingkan ART-nya itu. Vandra sempat berhenti di anak tangga terakhir ketika matanya menangkap Gilang yang sedang memegang sudut bibirnya sembari meringis.

Rasa bersalah kembali menghampirinya. Sungguh, Vandra tidak membenci Gilang hanya karena disukai oleh orang yang ia cintai. Ia hanya kesal, sebatas itu, tidak lebih. Pukulannya tadi pagi juga hanya untuk menyalurkan kekesalannya. Ia tidak sejahat itu sampai membenci sahabatnya sendiri.

"Udah lama lo semua?" tanya Vandra basa-basi.

"Lo ngapain aja sih di atas? Lama banget, dandan dulu?" siapa lagi pemilik suara itu kalau bukan Mahendra. Entah kenapa cowok itu suka sekali berujar sinis.

"Bapak lo, dandan."

Vandra meminta Raka untuk bergeser lalu mendudukkan bokongnya di samping cowok itu yang mana hal tersebut mengundang dengusan keras dari Gilang. Bagaimana tidak, jelas-jelas di samping Gilang masih ada ruang kosong tapi Vandra malah memilih meminta Raka bergeser dibandingkan duduk di sana.

Bukan apa-apa sebenarnya, Vandra hanya merasa canggung setelah apa yang terjadi pagi tadi.

"Permisi, ini minuman dan cemilannya. Silahkan di nikmati anak-anak," ujar Bi Ratih seraya meletakkan nampan yang dibawanya di atas meja.

"Makasih, Bik," balas cowok-cowok itu bersamaan.

Setelah kepergian Bi Ratih dari sana, suasana menjadi sepi. Mereka malah diam-diaman.

"Ck, bisu lo semua?" seru Mahendra memecah keheningan.

"Tahu ni, ah. Kita udah jauh-jauh dateng ke sini, masa cuma buat diem-dieman. Nggak seru." Mahesa menimpali.

"Nyanyi kuy. Van ambil gitar lo deh," kata Mahesa lagi.

Sebungkus snack melayang bebas mengenai kepala Mahesa. Pelakunya kali ini adalah Raka.

"Kita ke sini bukan buat itu." Raka angkat suara. "Langsung aja, Lang," lanjutnya.

Gilang meletakkan ponselnya. Cowok itu terlihat serius kali ini. "Oke, sebelumnya gue minta maaf karena udah ngehajar lo tadi pagi, Van. Lo tahu sendiri gue orangnya nggak mudah emosi, tapi tingkah lo udah keterlaluan."

Vandra [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang