Vandra kian mempercepat langkahnya menuju ruangan Adiba. Napas memburu dan kaki lemasnya ia paksa lari agar sampai di tempat tujuan dengan segera. Lima belas menit yang lalu, Nina mengabarkan bahwa keadaan Adiba semakin memburuk, yang mana hal tersebut membuat Vandra memacu motornya dengan kecepatan di atas rata-rata.
Cowok itu bahkan hanya memakai kaos tipis berwarna navy di tengah dinginnya malam yang menusuk kulit. Tidak peduli akan hal itu sebab yang ia rasakan saat ini adalah perasaan takut luar biasa. Segala bentuk pikiran buruk mendadak bercokol di kepala, Vandra menggeleng untuk mengenyahkannya.
Sembari melangkah, Vandra tidak henti-hentinya meminta kepada yang kuasa agar tidak terjadi hal buruk pada pacarnya itu.
"Buk, gimana keadaan Adiba?" tanya Vandra masih dengan napas ngos-ngosan. Jantung cowok itu bahkan masih maraton oleh ketakutan perihal keadaan Adiba dan juga karena lari dari parkiran ke tempat tersebut.
Nina hanya bisa menggeleng dengan air mata yang mengalir deras. Bibirnya seolah tak sanggup untuk mengeluarkan sepatah kata.
"Masih ditangani sama dokter, Kak," jawab Dava mengambil alih. Adik dari pacarnya itu juga tampak sangat sedih, matanya sudah berkaca-kaca. Tak lagi menampilkan raut datarnya.
Kaki Vandra semakin lemas. Cowok itu kemudian duduk di samping Nina.
"Adiba pasti baik-baik aja, Buk." Vandra berujar untuk menguatkan Nina juga dirinya sendiri.
Vandra menoleh saat mendengar suara langkah yang bersahutan. Sahabat-sahabat ia dan pacarnya, papa, mama dan keluarga baru mamanya itu berjalan cepat ke arah mereka. Sebelum berangkat tadi, Vandra tidak sempat mengabari orang-orang itu, sepertinya Darka-lah yang melakukannya.
Yah, semenjak kecelakaan Vandra waktu itu, Darka dan Fara tidak lagi saling bersikap dingin. Mereka beberapa kali berbicara bahkan sempat bertukar nomor ponsel satu sama lain. Bukan apa-apa, hanya saja keadaan Vandra waktu itu memaksa mereka melakukan hal tersebut.
Jangan salah, sebelum itu Darka juga meminta izin dulu kepada Adi, yang mana laki-laki itu tentu mengizinkan dengan senang hati sebab menurutnya Darka dan Fara hanyalah sebatas masa lalu. Lagi pula, bagi mereka keadaan Vandra jauh lebih penting daripada perasaan masing-masing waktu itu.
"Van, gimana?" tanya Fira dengan raut panik juga sedih.
Orang-orang yang baru datang itu menampakkan wajah yang sama khawatirnya.
"Belum tau, Fir."
Suasana kembali hening. Semuanya menunggu dengan perasaan cemas yang sangat kentara. Hingga kemunculan dokter beberapa menit kemudian membuat semua orang yang ada di sana mengalihkan perhatian kepada laki-laki paruh baya berjubah putih itu.
"Ba-bagaimana keadaan anak saya, Dok?"
"Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tetapi putri Ibu tidak bisa kami selamatkan. Turut berduka, Buk."
"Buk," lirih Dava sembari memegang pundak Nina. Wanita itu terduduk di lantai yang dingin. Kalimat yang ia dengar barusan seolah menyerap sisa-sisa tenaganya. Ia merasa tak berdaya.
"Nggak mungkin."
Vandra menggeleng tidak percaya. Cowok itu mendekati ranjang Adiba lalu memegang tangan dingin yang masih tertancap impus itu.
"Dib, Adiba. Ba-bangun."
Suara Vandra terbata dan bergetar. Dipandanginya wajah damai Adiba dengan air mata yang siap merembes keluar. Mata terpejam, bibir pucat, dan tubuh kaku itu membuat dunia Vandra seolah runtuh malam ini juga.
Cowok itu menumpukan kepalanya pada bahu Adiba. "Dib, bangun please."

KAMU SEDANG MEMBACA
Vandra [Completed]
Ficção AdolescenteBlurb : Vandra tak pernah menyangka jika ia akan menaruh hati pada Adiba. Taruhan konyol yang ia lakukan bersama sahabat-sahabatnya justru berujung suka. Adiba, gadis kaku yang katanya tak mengenal cinta. Akankah Vandra mampu 'tuk memenangkan hatin...