Vandra || 42 - End

115 6 1
                                    

Akan ada hari di dalam hidup yang teramat sulit untuk kita jalani. Saking sulitnya, tak jarang beberapa orang rasanya ingin mengakhiri semuanya dengan cara yang tak seharusnya. Memilih mati, misalnya.

Vandra pernah merasakannya. Dulu, saat perceraian kedua orangtuanya, juga hari itu, saat kepergian Adiba untuk selamanya. Sempat terlintas di dalam benak Vandra untuk menghilang dari bumi, tetapi ia sadar itu bukanlah jalan yang paling tepat.

Vandra sadar hal semacam itu justru akan menambah kekecewaan, kesedihan, kepiluan untuk orang-orang yang ia tinggalkan. Ia ingin mati, tapi ada Fara dan juga Darka--dua malaikat--yang sangat ia sayangi.

Vandra sudah sangat paham betul bagaimana rasanya ditinggalkan dan kehilangan, karenanya ia tidak ingin orang-orang yang ia sayangi mengalami apa yang ia rasakan, lagi.

Dan di sinilah Vandra sekarang, duduk di pinggir lapangan upacara dengan mata menatap penuh minat ke depan sana, ke tempat yang paling sering dikunjungi Adiba, menjadi pilihan cowok itu saat ini. Perpustakaan dengan pintu tertutup rapat itu menjadi satu-satunya pemandangan paling menarik untuk Vandra.

Bahkan setelah lapangan upacara sepi dan bel pelajaran pertama berbunyi pun, Vandra tetap betah pada posisinya. Mengabaikan tatapan dari kakak-kakak kelasnya yang lewat maupun yang memang sengaja memperhatikannya, Vandra melepas topi lalu memperbaiki tatanan rambutnya dengan jari.

"Vandra?"

Vandra menoleh lalu menemukan seorang cewek tersenyum manis ke arahnya. Tanpa membalas, Vandra kembali menghadap depan, yang mana hal tersebut membuat si cewek mendengkus kesal. Untung saja ia paham Vandra masih dalam suasana hati yang tidak baik lantaran ditinggal kekasih hati. Kalau tidak, Elsa pasti akan menjitak kepala adik sepupunya itu.

Duduk di samping Vandra, Elsa menyodorkan sebuah botol minuman yang dibelinya dari kantin barusan.

"Nih, minum. Habis upacara haus, gerah, kan, pasti?"

Melirik sekilas, Vandra menggeleng. "Nggak minat, makasih."

"Iya udah sih kalau lo nggak mau. Biar gue minum aja." Membuka botol tersebut, Elsa lantas meneguknya hingga setengah.

Terdiam cukup lama, Elsa kemudian bersuara. "Gue nggak akan bilang kalau gue paham sama apa yang lo rasain sekarang, karena gue emang belum pernah ngalamin. Kehilangan seseorang yang dicintai udah pasti ngasih luka yang nggak main-main."

Vandra menoleh untuk melihat Elsa yang berujar tanpa melihat ke arahnya. Cewek itu ikut melakukan apa yang di lakukan Vandra beberapa saat lalu, memandang lurus ke depan.

"Katanya, kalau seseorang sedih atau nangis karena ditinggalkan, maka orang yang meninggalkannya itu akan merasa sedih juga di atas sana." Elsa kembali berujar, tetapi kini matanya bertemu dengan iris pekat Vandra.

"Meskipun kita nggak tahu itu benar apa nggak, seenggaknya memilih percaya akan lebih baik dari pada terus larut dalam kesedihan. Oke, kita anggap itu benar, yah. Lo nggak mau, kan, Adiba sedih di atas sana ngelihat lo kayak gini?"

Demi apa pun, kalau itu memang benar, Vandra sungguh tidak ingin Adiba ikut bersedih. Sudah cukup cewek itu pergi dengan keadaan yang amat menyiksa. Namun, Vandra hanya diam. Tidak ingin menanggapi ucapan Elsa.

Elsa paham, cewek itu lantas menepuk pundak Vandra dua kali. "Jangan sedih terus, Van. Kalau lo butuh teman berbagi, kakak lo ini siap jadi pendengar meskipun nggak bisa ngasih solusi yang baik."

Vandra mendengkus lalu menarik sudut bibirnya tipis. Kakak sepupunya yang satu ini ada-ada saja memang.

"Gunanya cerita buat dapet solusi, kalau nggak bisa ngasih solusi, buat apa cerita," kata Vandra kemudian.

Vandra [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang