Vandra || 15

30 5 1
                                    

"Vandra, bisa Papa bicara sebentar?"

Langkah Vandra yang hendak ke dapur untuk mengambil air minumn terhenti lantaran suara papanya itu. Menghela napas sebentar, cowok dengan model rambut undercut yang terliha acak-acakan tersebut memutar langkah dengan malas-malasan. Ia terlihat sangat terpaksa bahkan untuk sekedar duduk pada sofa yang ada di depan laki-laki paruh baya itu.

Darka memandang Vandra dalam. Sudut bibirnya tertarik samar kala memperhatikan anak semata wayangnya. Jika diingat-ingat lagi, sifat dan tingkah Vandra benar-benar mirip dengan dirinya dulu. Bahkan wajah mereka hampir 80% mirip, keculai matanya. Mata itu milik mantan istrinya. Darka menghela napas, ia merasa sangat bersalah terhadap putranya tersebut.

"Vandra, mungkin kata maaf tidak bisa mewakilkan semua kesalahan Papa dan juga mengobati luka kamu."

Vandra mengangkat kepala. Dipandangnya Darka dengan dahi mengernyit. Apa ini yang ingin dibicarakan papanya?

"Kalau Papa cuma mau minta maaf, Vandra lebih baik ke kamar."

Sungguh, kata maaf dari Darka tidak akan merubah apa pun. Dirinya masih menyimpan perasaan benci kepada laki-laki itu. Jadi percuma, permintaan maaf tersebut akan sia-sia.

"Apa yang harus Papa lakukan sekarang supaya kamu bisa memaafkan Papa, Vandra? Papa---"

"Nggak ada yang perlu Papa lakuin," kata Vandra menyela ucapan Darka.

"Vandra, dengerin Papa dulu."

Vandra yang tadinya berdiri dan hendak pergi kembali duduk. Dengan sengaja ia memperlihatkan wajah bosan supaya Damar tahu betapa tidak inginnya ia ada di tempat tersebut.

"Papa tahu kamu benci sama Papa, tapi izinkan Papa untuk menjelaskan semuanya, Van. Sebentar saja," mohon Darka.

"Jelasin apa lagi? Papa mau jelasin kalau Papa udah nggak ada hubungan sama selingkuhan Papa itu? Nggak guna, Pa. Semuanya udah berakhir," seru Vandra dengan volume suara yang dinaikkan. Cowok itu mendengkus lalu melanjutkan. "Toh Mama juga udah bahagia sekarang."

"Iya, Papa ngerti apa yang kamu rasain---"

"Papa nggak akan pernah ngerti."

Darka lagi-lagi menghela napas. Sejenak ia membiarkan Vandra tenang dulu lalu kembali berujar, "Sehari sebelum Mamamu mengajukan surat cerai, Papa sudah memutuskan hubungan dengan Sinta. Iya, waktu itu Papa sadar kalau apa yang Papa lakuin salah dan Sinta pun berpikir demikian. Karena itu Papa ingin memperbaiki semuanya, tapi Mamamu lebih dulu meminta berpisah."

Darka menghentikan ucapannya. Ia mengangkat kepala berusaha menahan sesak di dadanya.

"Papa ingin menolak, tapi terlalu egois rasanya. Yang Papa pikirkan waktu itu, mungkin berpisah dengan Papa adalah satu-satunya cara supaya Mamamu kembali bahagia. Papa tidak punya keberanian untuk meminta Mamamu memberi kesempatan kepada Ayah. Rasanya Papa tidak pantas menerima kesempatan kedua. Karena itu, Papa memilih mengiyakan perceraian tersebut. Bahkan saat itu Sinta juga ingin membantu Papa untuk menjelaskan kepada Mamamu, tapi Papa menolak. Papa terlalu penakut."

Vandra dibuat bungkam oleh penjelasan Darka. Ia benci Papanya, tapi kali ini hatinya ingin memberi sedikit kesempatan untuk Darka menjelaskan semuanya, dari sudut pandang laki-laki itu.

"Kamu tahu apa yang Papa rasain setelah itu?"

Vandra menelan ludah. Ia masih bungkam, tidak berniat berbicara sedikit pun.

"Papa kalut, Papa marah sama diri Papa sendiri. Papa hampir putus asa, tapi saat itu Sinta kembali menenangkan Papa. Dia yang memberi kekuatan kepada Papa, dia yang nemenin Papa ... sebagai teman. Dia juga yang menyadarkan Papa bahwa masih ada kamu yang menjadi tanggung jawab Papa. Jujur, Papa hampir lupa sama kamu karena kesedihan yang berlarut," jelas Darka.

Vandra [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang