Vandra || 19

40 7 0
                                        

Vandra menuruni tangga masih dengan tangan yang tidak henti-hentinya mengucek mata. Sesekali tangannya ia gunakan untuk menutup mulutnya yang terbuka lebar karena menguap. Sejujurnya ia masih sangat mengantuk, tetapi aroma masakan yang memenuhi indra penciumannya memaksa Vandra untuk bangun.

Pikir cowok itu, asisten rumah tangganya memasak menu baru kali ini karena aromanya berbeda. Terasa familiar, mirip masakan favoritnya yang biasa dibuatankan mamanya.

"Bi," panggil Vandra kepada Ratih yang sejak dulu bekerja sebagai ART di rumahnya.

Wanita yang sudah menginjak kepala lima itu menghentikan kegiatannya yang sedang menyajikan makanan.

"Iya, Den?"

"Masak apa pagi in, Bi? Baunya enak baget," kata Vandra sembari melangkah ke arah meja makan.

Mata Vandra kian berbinar tatkala melihat tumis kangkung telur puyuh juga oseng kacang panjang tersaji di sana. Kedua jenis masakan sederhana, tetapi begitu enak dan nikmat menurutnya.

Dulu hampir setiap hari ia akan meminta Fara untuk memasak makanan kesukaannya itu. Namun, semenjak perceraian kedua orangtuanya, Vandra sudah mulai jarang mencicipi kedua menu tersebut dan pagi ini ia tentu sangat senang melihat hasil masakan asisten rumah tangganya itu.

"Ternyata Bibi bisa masak ini, kenapa nggak tiap hari aja, Bi? Bibi kan tahu ini masakan kesukaan Vandra," celoteh Vandra lalu memasukkan tumis kangkung ke dalam mulutnya.

"Lumayan," komentarnya.

"Anu, Den. Ini bukan masakan Bibi."

Vandra menghentikkan tangannya yang hendak menyendok kembali oseng kacang panjang. Ia menatap Ratih heran dengan kening mengerut.

"Terus ini masakan siapa?" tanyanya kemudian.

"Kamu sudah bangun Vandra?"

Darka muncul dari arah dapur masih dengan menggunakan celemek. Laki-laki itu membawa sepiring tumis jamur di tangan kanannya sementara tangan kiri membawa sepiring ayam goreng.

Melihat hal tersebut, dapat Vandra simpulkan jika Darka yang memasak semua ini. Memang, dulu saat keluarganya masih baik-baik saja, Darka sering memasak. Tak jarang laki-laki paruh baya itu meminta mantan istrinya untuk mengajarinya memasak menu keluarga mereka, termasuk makanan yang baru saja dicicipi Vandra. Hanya saja, rasanya memang tidak akan sama persis seperti buatan Fara.

Terlepas dari itu, menurut Vandra masakan papanya kali ini lebih baik dari yang dulu. Jika diingat-ingat, sudah lama sejak Darka tidak melakukan ini, terakhir kali sekitar lima tahun yang lalu.

Kini yang menjadi pertanyaan Vandra adalah Darka memang sengaja menyiapkan ini untuk dirinya atau bagaimana? Tentu hal tersebut hanya bisa ia tanyakan pada diri sendiri.

"Kamu belum mandi, kan? Siap-siap gih, nanti kita sarapan sama-sama," kata Darka sembari melepaskan celemek dari tubuhnya.

"Kalau gitu Vandra ke atas," ujar Vandra seraya berjalan tanpa bersusah payah untuk melihat ke arah Darka.

Bukan karena rasa benci atau semacamnya, melainkan ia sedang berusaha menyembunyikan senyum bahagianya kala berpikir jika Darka sengaja memasak untuk dirinya.

Memang, belakangan ini hubungan antara bapak dan anak itu tidak lagi serenggang sebelumnya. Sejak hari di mana Gilang menyarankan agar ia mencoba memberi kesempatan papanya untuk memperbaiki semuanya, Vandra tidak lagi bersikap dingin. Bahkan kemarin ia menyanggupi ajakan Darka untuk minum kopi bersama di teras rumah meski tanpa sepatah kata pun. Agaknya mereka masih canggung satu sama lain.

Meski demikian, bagi Darka semuanya sudah lebih dari cukup. Ia tahu, tidak mudah bagi Vandra untuk bersikap biasa-biasa saja setelah apa yang terjadi. Karena itu, sebisa mungkin Darka mencoba lebih dekat dengan Vandra, berusaha meyakinkan putranya itu bahwa ia benar-benar menyesal dan ingin memperbaiki semuanya. Bahkan pagi ini ia rela bangun lebih awal untuk memasak makanan kesukaan Vandra.

*****

"Bagaimana menurut kamu? Apa sudah seenak masakan Mamamu?" tanya Darka setelah melihat piring Vandra telah kosong.

Vandra mengangguk lalu sepersekian detik selanjutnya menggeleng. Darka sampai dibuat heran melihatnya.

"Kamu ngangguk terus geleng. Mana yang benar?"

"Enak. Cuma masih lebih enak masakan Mama. Ini keasinan dikit," jujur Vandra setelah meminum sisa air putih dari gelasnya.

"Sepertinya Papa tidak akan bisa menyamai masakan Mamamu," kata Darka kemudian.

"Sepertinya begitu," balas Vandra lalu mengambil satu potong semangka sebagai pencuci mulut.

"Tidak apa-apa. Setidaknya kamu mau memakannya sehingga Papa tidak merasa sia-sia menyiapkan ini untukmu. Bonusnya lagi, kamu juga menyukainya."

"Jadi Papa nyiapin ini semua buat Vandra?" tanya Vandra memastikan.

Darka mengangguk. "Iya. Meskipun ini nggak bisa nebus kesalahan Papa sama kamu, tapi setidaknya Papa ingin memberimu sesuatu. Ya, walau hanya sekedar makanan kesukaan yang justru rasanya tidak sesuai keinginanmu."

Mendengar penuturan Darka, hati Vandra terasa menghangat. Ia dibuat speechless. Vandra akui jika perjuangan Darka untuk lebih dekat dengannya sungguh luar biasa.

Belakangan ini Vandra bahkan merasa sikap Darka berlebihan dalam memberinya perhatian. Namun, ia tahu persis jika hal tersebut yang membuatnya sampai pada tahap ini. Percaya atau tidak, sebenarnya Vandra diam-diam menyukai setiap perlakuan Darka yang katanya berlebihan itu.

"Papa nggak kerja?" tanya Vandra memecah keheningan yang sempat tercipta. Selain berusaha menghindari kecanggungan, Vandra juga penasaran karena biasanya jam segini Darka sudah tidak ada di rumah.

"Nggak. Hari ini Papa libur," bohong Darka. Sebenarnya ia ada pertemuan dengan klien, tetapi dibatalkan hanya untuk pagi ini. Seharusnya bisa saja ia melakukan ini di lain waktu, terlebih semenjak pernikahan Fara dengan Adi, Vandra lebih banyak di rumah. Namun, entah bagaimana Darka merasa hari ini waktu yang paling tepat.

"Sudah siang. Kamu sebaiknya berangkat sekarang," ujar Darka kala melihat jam dinding di ruangan tersebut sudah hampir menunjukkan pukul setengah delapan.

Vandra meraih tisu lantas mengelap bibirnya. Cowok itu beranjak dari duduknya kemudian menyampirkan tas di pundak kanannya. "Vandra berangkat."

"Hati-hati."

Darka kembali mengangkat kepala tatkala melihat Vandra masih bergeming di tempat. "Kenapa? Ada yang tertinggal?"

"Itu ...." Vandra menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ia bingung bagaimana menyampaikan maksudnya.

Darka semakin memandang Vandra heran. "Ada yang mau kamu omongin?"

"Bukan. Vandra ... mau salam."

Darka tampak terkejut, untuk pertama kalinya Vandra ingin bersalaman dengannya setelah sekian lama. Kini Darka ikutan terdiam namun, setelahnya tersenyum. Darka lantas mengulurkan tangannya yang membuat Vandra segera meraih tangan itu untuk ia salami. Darka kembali tersenyum, pikirnya Vandra terlihat lucu jika salah tingkah seperti ini.

"Kalau gitu Vandra berangkat," kata Vandra setelah menyalami papanya.

Darka mengangguk. Ditepuknya pelan bahu Vandra. "Jangan ngebut," ingatnya.

Kini giliran Vandra yang mengangguk.

"Kalau nanti malam kamu ada waktu, Papa ingin mengajakmu makan di luar. Itu pun kalau kamu mau. Papa tidak---"

"Boleh," sela Vandra yang membuat Darka semakin melebarkan senyum.

*****

Tbc.

Salam hangat,

Meri Andani

Vandra [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang