episode 43

5.4K 528 124
                                    


Hari terakhir dimana Jimin bisa mengklaim Yoongi sebagai miliknya, sebelum besok semuanaya akan benar-benar selesai dan berakhir. Jimin belum meminta alamat di Kalimantan, Ayahnya menjanjikan hal itu malam ini saat selesai bekrja, katanya.

Dan malam ini pula, Yoongi menjanjikan makan malam di restoran kenalan Ayahnya hanya untuk berdua. Maka dari itu, Jimin sudah pusing memilih baju di siang bolong untuk acara nanti malam.

Ponselnya berdering, ia pun mendengus pelan sebekum beranjak dari hadapan lemari, sebentar melirik koper di ujung kamar yang sudah ia siapkan jauh-jauh hari. Ia melihat display ponselnya yang menampilkan nomor tidak diketahui, Jimin sedang malas diajak bercanda, maka ia mengabaikan panggilan itu dan berjalan menuju lemari sembari memikirkan baju apa yang akan ia pakai.

Namun dering itu tak berhenti, terus bersuara, hingga kurang lebih lima kali dan Jimin mulai muak, maka pada saat panggilan keenam Jimin memilih mengangkatnya.

"Aduh Jim, akhirnya angkat juga. Ini Chanyeol, tenang dulu ya, lo ke Rumah Sakit sekarang, Ayah lo udah nggak ada."

Yang Jimin lakukan saat itu adalah diam, ia benar-benar diam dengan napas yang mmeburu, ia yakin Chanyeol tak bercanda. Tangisnya jatuh dengan hatinya yang terasa sakit secara bersamaan, Jimin tidak bisa mengekspresikan perasaannya yang kacau dan hancur.

"D-dimana?" Pertanyaan lirih itu bahkan terdengar parau dan samar.

"Alamatnya gue share ya, lo bisa pergi sendiri? Naik taksi aja kalo gitu, nanti gue jemput di loby."

"Iya." Jawab Jimin sebelum ponselnya jatuh merosot dari pegangan tangannya dan juga tubuhnya yang ikut luruh bersandar tak berdaya pada tempat tidur.

"Ayah... nanti Jimin sama siapa.." lirihnya, Jimin tahu ia tak punya waktu untuk menangis, ia tahu ia harus segera pergi, namun benteng dalam hatinya runtuh begitu saja. Dan ia merasa ia perlu menangis.

Air matanya tak berhenti meluncur bebas membentuk sungai di pipinya dengan isakan parau juga napas tak beraturan yang terdengar menyedihkan. "Nanti siapa yang nemenin Jimin buat nunggu takdir pertemuin Jimin sama Yoongi lagi. Nanti siapa yang bakal panggil Jimin kuat kalo Ayah nggak ada," Jimin menutup wajahnya dengan kasar lalu menangis lagi. Kali ini lebih keras.

Lalu memilih bangkit sadar tak punya banyak waktu untuk melihat Ayahnya untuk yang terkakhir kali.


----


Yoongi telah siap dengan sebuket bunga mawar merah di tangan berdiri gagah di depan pintu apartemen Jimin. Ia menghela napas untuk menetralkan detak jantungnya, padahal ia hanya akan menjemput kekasihnya itu lalu pergi makan malam dengan suasana romantis.

Yoongi sengaja menekan bel, ia ingin Jimin yang membuka pintu dan menghadapnya yang kini telah rapi dan wangi dengan setelah jas yang Ibunya pilihkan. Senyum paling baik telah ia persiapkan, namun saat telah dua kali menekan bel, tak ada satupun sahutan.

Yoongi menekan bel sekali lagi, ia berpikir Jimin balik mengerjainya lalu memilih menekan passsword lalu masuk. Dan hal yang pertama ia tangkap adalah gelap. Tak ada satupun lampu yang menyala kecuali dari penerangan lampu meja di ruang tengah.

"Ji?" Yoongi menekan saklar dan saat semuanya terang, Jimin tak ada dimanapun.

"Ji?" Yoongi membuka kamar pria itu dan tetap tak ada, di kamar mandi juga sama.

Yoongi menyimpan bunga mawar itu di atas nakas sebelum meraih ponsel di saku celana dan mendial nomor Jimin.

Lama nada dering penghubung mengisi keheningan hingga hening janggal terasa saat sambungannya terhubung. "Hiks.. Yoongi, sakit,"

it's okay to love your teacherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang