[ 16 ] Pusaran Kegelapan

3K 421 73
                                    

Tiga tahun yang lalu

"Selamat malam, Bapak Ibu, Om Tante, Kakak-kakak, dan teman-teman sekalian."

Gumaman balasan dari para hadirin terdengar. Gadis yang sedang berdiri di depan mikrofon di atas panggung dan menjadi pusat perhatian semua orang itu menunjukkan senyuman terbaiknya. Gaun berwarna merah marun yang dikenakannya memendarkan cahaya lembut di bawah lampu sorot. Orang-orang sulit mempercayai Melisa Adinata bahkan belum lulus sekolah menengah pertama. Pembawaannya teramat profesional dan dewasa.

"Malam ini, saya berdiri di hadapan Anda semua, dengan hati yang berbahagia. Adinata Group sudah hadir, berkarya untuk bangsa, selama empat dekade. Saya sendiri, masih berusia empat belas tahun, masih teramat muda dan tidak tahu apa-apa. Bisa dibilang, wisdom yang dikumpulkan Adinata Group selama hidupnya jauuuh di atas pengetahuan saya. Namun, untuk hal inilah saya sangat bersyukur. Saya bersyukur bisa menyaksikan bagaimana orang tua saya menganggap Adinata Group adalah sebuah keluarga besar, dengan setiap anggotanya menambahkan value lebih yang kemudian saling melipat ganda. The sum of us all is more than its part. Sungguh, dengan kerendahan hati, saya menganggap Anda semua adalah guru-guru kehidupan saya." Melisa berhenti sebentar. Matanya berkeliling ke seluruh penjuru ruangan. Dadanya mengembang penuh kebanggaan ketika ia melihat jelas setiap hadirin menatapnya dengan penuh kekaguman.

"So, this is an apple juice," ucap Melisa sambil meraih gelas berisi cairan kecokelatan dari nampan yang dibawa oleh seorang pramusaji di belakangnya. Suara tawa menggema di ruangan itu. "Yang diproses dari kebun apel kami di Kota Batu, Jawa Timur, di mana kebun tersebut adalah agrowisata pertama yang menerapkan program edukasi tiga dimensi--oke, kayaknya saya harus berhenti," canda Melisa yang lagi-lagi membuat hadirin tergelak. "Anyways," tangan Melisa yang menggengam segelas jus apel terangkat ke atas, "untuk empat puluh tahun yang menakjubkan, dan berpuluh-puluh tahun di masa depan yang akan lebih dari menakjubkan. Dirgahayu Adinata Group. Salut!"

Seluruh hadirin turut mengangkat gelas di tangan dan mengucap, "Salut!" Kemudian, gelas-gelas berdenting seiring para hadirin bersulang dengan orang-orang di sebelah mereka.

Seorang diri di atas panggung, Melisa meneguk jus apelnya. Rasanya hambar, sebab gadis itu tidak benar-benar mengamini semua yang baru saja diucapkannya. Penampilannya barusan boleh jadi sangat sukses, tapi pujian orang-orang kepada dirinya tidak akan mengubah fakta bahwa kedua orang tuanya justru tidak hadir pada perayaan dirgahayu perusahaan raksasa mereka.

Mata dan hidung Melisa memanas seiring gejolak emosi yang sejak tadi mati-matian ia kubur mulai muncul ke permukaan. Senyuman tipis masih ia tampilkan selama menuruni panggung dan menyalami kolega-kolega orang tuanya. Melisa menjawab semua pertanyaan dan membalas semua percakapan dengan sopan sekaligus singkat. Ekor matanya memandangi koridor yang mengarah keluar dari aula yang luas, menuju ke toilet, lalu ke sebuah balkon yang letaknya cukup tersembunyi.

Melisa menarik napas panjang begitu ia berhasil keluar dari jeratan manusia di aula. Langkah kakinya berpacu semakin cepat dan tangannya terulur ke arah teralis balkon, mencari tumpuan.

"Damn it!" rutuk Melisa sembari memejamkan mata rapat-rapat. Ia melawan tangis dengan sekuat tenaga. Sayangnya, ia gagal dan butiran-butiran air mulai turun dengan derasnya.

Meskipun begitu, seluruh indra Melisa tetap awas. Sontak, gadis itu membuka mata dan menyeka air di wajah saat ia merasakan keberadaan orang lain di balkon ini.

Seorang lelaki sedang memandangi Melisa sambil ketakutan. Badannya yang jangkung berbanding terbalik dengan nyalinya yang mendadak ciut. "M-maaf. S-saya baru mau pergi--"

"Setop!" Melisa melangkah menyempitkan jarak di antara keduanya. Lelaki itu membeku di tempat. Melisa bisa melihat siapa lawan bicaranya sekarang. Penerangan balkon yang remang-remang cukup memperjelas wajah si lelaki. Berhubung penyebaran undangan pesta privat ini ia awasi sendiri, tidak ada tamu undangan yang tidak dikenalnya. Melisa menebak, "Lionel Wijaya, kan?"

A Mismatch So Perfect [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang