Hari Senin ini, kelas Adara dipenuhi siswa berwajah muram dan tegang. Seusai upacara bendera, kebanyakan siswa langsung membuka buku catatan masing-maaing sembari mengibas-ngibaskan sebelah tangan untuk mengusir rasa gerah.
"Kenapa sih, Geografi di sekolah kita harus susah banget gini?!" Violin, gadis yang menempati meja di depan Adara memprotes.
Adara mengaminkan keluhan itu. Mata pelajaran Geografi di Garda Bangsa adalah fusi dari kurikulum nasional dan kurikulum Cambridge. Sebagian besar soal ujian mereka adalah studi kasus dan esai yang menguras otak. Kuis harian saja sudah membuat sebagian besar siswa kelabakan seperti sekarang.
Untung saja, Adara cukup percaya diri dengan jawaban yang ditorehkannya di kertas ujian. Gadis itu menegak air mineral dari botol minumnya dalam jumlah besar guna menghilangkan dahaga akibat memutar otak begitu keras dua jam belakangan.
Begitu bel berbunyi, Adara berniat menghabiskan lima belas menit istirahat pertama di masjid Garda Bangsa untuk salat Dhuha. Namun, suara derap langkah yang berisik dari pintu kelas, beriringan dengan wangi parfum yang menyengat, membuat Adara terduduk di bangkunya sambil memandang keheranan sekumpulan kakak kelas perempuan yang datang bergerombol.
"Hei, lo yang namanya Adara, ya?" Seorang gadis yang berjalan paling depan--lagaknya terlihat seperti ketua suku--meletakkan sebelah tangan di meja Adara.
Dari jarak sedekat ini, nametag gadis itu terbaca dengan jelas. Wendy Ismaya. Ujung-ujung rambut Wendy bergelung sangat apik, pertanda banyak sekali usaha yang dikeluarkannya mempersiapkan penampilan ke sekolah. Paras Wendy juga berlapis riasan yang lebih tebal daripada teman-teman sekelas Adara pada umumnya. Adara ingin memuji penampilan Wendy, sangat cantik dan rapi, tapi batinnya menyatakan bukan untuk itu Wendy menghampirinya sekarang.
Adara memaksakan diri memunculkan senyuman paling sopan yang bisa ia buat. "Iya, kak. Ada apa, ya?"
Wendy menyeringai. Ujung matanya melirik tiga gadis yang mengekorinya sedari tadi. Ketiga gadis itu terkekeh pelan.
"Jujur aja gue kaget. Lo cewek Garda Bangsa pertama yang bisa jalan sama Lionel selain Melisa. Tapi kayaknya gue nggak perlu khawatir, deh ..." Wendy memainkan ujung rambutnya dengan telunjuk. "Kalau orangnya elo, gue rasa Lionel cuma kasian."
Adara terkesiap. Perasaan kelam yang selama ini sudah terkubur jauh di benaknya, perlahan merangkak ke permukaan. Adara mengerjapkan mata dengan cepat, berharap konfrontasi di hadapannya hanya imajinasi. Tetapi, wajah meremehkan Wendy dan teman-temannya masih terpampang nyata.
"Udah gue bilang apa, Wen. Lionel itu lagi sedekah aja sama anak yatim." Gadis berambut pendek menimpali. Suara tawa menyambut perkataan gadis itu.
"Iya juga, ya. Aduh, bego banget sih gue, pake khawatir segala. Ya udah deh, Adara, lo gue undang ke acara Sweet Seventeen gue minggu ini, mau nggak? Lumayan, lo bisa ngerasain makanan hotel bintang lima." Kini, Wendy menduduki bangku Violin yang sedang tidak ditempati penghuninya.
Tiba-tiba, mata Adara memanas. Kalimat terakhir Wendy menghunus hatinya, tepat menusuk ruang tempat segala perasaan insecure Adara bersemayam. Otaknya mengalkulasi semua kebaikan orang lain yang telah ia terima. Adara cepat menyimpulkan, ia bisa bertahan hidup sampai sekarang memang karena rasa belas kasihan orang lain.
Adara sadar dan mengakui itu, tapi ia tetap tidak suka orang asing mengingatkan lagi dan lagi, bahwa level mereka berbeda.
"Permisi, Kak. Adaranya mau pergi sama gue." Suara familiar membuat kepala Adara mendongak. Yasmina menyeruak membelah kerumunan empat orang yang mengelilingi Adara. "Ya kan, Ra?" Yasmina telah tiba di sebelah Adara dan meremas pundaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Mismatch So Perfect [COMPLETED]
Teen FictionAdara dan Lionel ibarat kutub utara dan selatan. Mereka begitu berbeda, selayaknya dua keping puzzle yang tidak akan pernah cocok menyatu. Seharusnya, Lionel tetap menjadi lelaki tampan dan populer dengan dunia tak terjamah oleh Adara. Semestinya, A...