[ 34 ] Ego

2.3K 436 108
                                    

Hari Minggu menjadi hari terbaik bagi Lionel akhir-akhir ini. Alasannya, tentu saja adalah kehadiran gadis yang telah secara utuh memiliki hatinya. Adara memasuki kamar VIP Lionel dengan senyum semringah. Lionel membalas senyuman itu, sampai semua giginya terlihat. Lionel menebak, sebentar lagi gadis itu akan menguluk salam.

"Assalamu'alaikum, Lionel!"

Nah, bener, kan. Lionel berdeham, masih sedikit kikuk menggunakan suaranya untuk kembali berkomunikasi dengan orang lain. "Wa'alaikum salam, Adara."

"Kamu keren banget, Lio."

"Keren kenapa?"

Adara berdecak. "Lihat diri kamu, deh. Bisa survive masa-masa kritis di ICU. Kamu harus kasih apresiasi diri kamu sendiri, tahu."

Lionel terkekeh. "Ya, karena kamu."

Adara memutar bola matanya ke belakang. "Kebiasaan."

"Loh, beneran," Lionel mengubah air mukanya menjadi serius, "kalau nggak ada kamu, mungkin aku udah nyerah dari lama, Ra. Satu-satunya yang bikin aku bertahan dan ingin sembuh, ya supaya bisa bareng-bareng kamu."

Adara mengerjapkan mata. Keterkejutan jelas tercetak pada ekspresinya. Gadis itu membuang muka, tidak ingin pandangannya beradu dengan milik Lionel. Dadanya mulai naik-turun. Ada luapan emosi mendadak yang berusaha ia jinakkan.

Adara bertanya-tanya, bareng-bareng seperti apa yang sebenarnya Lionel harapkan dari mereka? Apakah bersama sebagai teman? Atau sesuatu yang lain yang memiliki arti romantis dan melibatkan komitmen?

"Karena kalau si cewek pinteran dikit, harusnya dia tahu dia layak dapet yang lebih baik daripada seseorang yang janji berubah, tanpa ada kepastian beneran berubah atau nggak. Si cewek seharusnya deserves seseorang yang memang sudah baik."

Kata-kata Helga menggema dalam ingatan Adara. Siapa lelaki yang berjanji berubah dan siapa lelaki yang memang sudah baik sangat jelas di hidup Adara sekarang. Bukankah Adara juga berhak memilih yang terbaik untuk dirinya? Bukankah Lionel justru selalu menginginkan gadis itu menjadi lebih egois, membela kepentingannya sendiri dibanding terus-menerus berkorban untuk orang lain? Apakah benar masih ada cinta dari Adara untuk lelaki di hadapannya ini, ataukah hanya tersisa rasa kasihan?

"Hey, what's on your mind?"

Suara lembut Lionel menyadarkan Adara dari badai yang sedang berkobar berisik di benaknya. Adara menggeleng kuat-kuat sambil menampilkan senyumannya yang terbaik.

"Nothing," balas Adara.

-

Pertemuan Adara dengan ibunda Aldi sejauh ini berjalan menyenangkan. Tiga orang tersebut mengitari sebuah meja di teras yang menghadap halaman belakang rumah Aldi. Rupanya, ayah Aldi sedang di luar kota, sementara adik Aldi masih menempuh pendidikan SMP di sebuah sekolah berasrama.

"Social worker di Indonesia itu memang pekerjaan yang masih belum banyak orang tahu. Padahal, dengan penduduk yang jumlahnya sangat banyak di Indonesia, sudah jadi kewajiban negara untuk berusaha ekstra keras memenuhi kebutuhan warga negaranya," jelas ibunda Aldi, Dewi. Wanita itu kemudian menyesap teh hangat beraroma melati dari cangkir di hadapannya.

"Wah, gitu, ya, Tante? Ini menarik banget buat saya. Saya tumbuh di tengah-tengah panti asuhan, karena kebetulan kedua orang tua saya jadi pengurusnya. Selama ini memang ada sih, orang-orang Dinas Sosial yang mengawasi jalannya panti asuhan kami. Tapi, baru kali ini saya benar-benar mempertimbangkan karier ke sana."

"Sesungguhnya, Tante bakal senang banget kalau ada orang seperti kamu yang berminat terjun di bidang ini, Adara. Memang sih, empati itu bisa dipupuk dan dilatih. Tapi, tentu saja itu nggak bisa menandingi empati yang terbentuk alami, dari experience kamu seumur hidup," Dewi memberikan salut.

A Mismatch So Perfect [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang