Chapter ini panjang banget, pelase bear with me >,<
*
Sore hari Minggu kali ini basah dan gelap, sebab hujan yang cukup deras tidak kunjung berhenti sejak tengah hari tadi. Namun, di dalam kamar ICU, dunia seakan-akan berjalan dengan hukum yang berbeda. Setiap pasien yang terbaring di ruangan itu sedang melewati garis waktunya masing-masing. Lionel, contohnya, masih bisa bernapas dan berjuang untuk hidup. Tidak dengan seorang lelaki tua di kasur seberang yang pagi tadi dibawa pergi oleh suster menuju peristirahatan terakhirnya.
Adara terduduk di kursi samping kasur Lionel, sedang berkisah tentang klub jurnalistik yang sangat menarik dan seru, undangan Sweet Seventeen dari Violin, serta ketakutannya akan mata pelajaran Ekonomi yang akhir-akhir ini susah ia mengerti.
Meskipun, untuk suatu alasan yang belum bisa Adara definisikan, gadis itu dengan sengaja tidak mengungkit kegiatannya hari Sabtu kemarin bersama Aldi.
"Akhirnya, Melisa bakal minjemin aku salah satu dress dia waktu SMP! Aku nggak minta, tapi dia juga nawarin buat ngerias wajah aku sebelum berangkat. Baik banget ya, dia? Tapi, kayaknya Sweet Seventeen Violin jadi acara ulang tahun pertama sekaligus terakhir yang aku ikutin, deh. Nggak mau lagi aku pusing-pusing mikirin dress code yang beda-beda setiap acara. Nggak mau terus-terusan ngerepotin Melisa juga."
"Nanti foto, ya, habis dirias."
"Idih, buat apa, sih? Enggak mau, ah." Adara cemberut tidak suka.
Lionel memberikan emot tertawa. Lalu kemudian, "Tapi pasti cantik."
Adara tidak tahu harus merespons apa untuk itu.
Sebelum Adara pergi, Lionel mengajukan satu permintaan sederhana kepadanya.
"Hold my hand, Ra."
"Oh," gumam Adara kaget. Perlahan, ia mengabulkan pinta tersebut.
Tangan mungil Adara meraih milik Lionel yang terasa asing. Jemari-jemarinya terlalu ramping dan ... rapuh. Adara mengusap jemari-jemari itu dengan penuh kelembutan. Saat Adara mendongakkan kepala, pandangan mereka beradu, dan Adara bersumpah, tatapan Lionel saat itu menyiratkan kesenduan yang sangat, bahkan nyaris putus asa. Adara berusaha tersenyum secerah mungkin, berharap semua kekhawatiran barusan hanyalah imajinasinya.
Setelah sesi kunjungan berakhir dan Adara berkendara kembali ke rumah, perasaan aneh melekat di benaknya tanpa mau pergi.
Kenapa Lionel kelihatan ingin banget membicarakan sesuatu, tapi dia tahan-tahan, ya? Dan kenapa ... dia kelihatan lebih sedih dari minggu lalu?
-
Adara mengerjapkan mata tak percaya di hadapan cermin besar milik Melisa. Pantulan di cermin itu menunjukkan seorang gadis dengan bulu mata lentik, pipi merona, dan bibir semburat kemerahan. Adara tidak pernah menyangka riasan yang tepat bisa membuatnya terlihat seperti ini.
"Sebenernya rambut lo bagusnya dikasih roll agak lamaan, terus di-blow, biar rada ikal dan jadi bervolume gitu, deh," saran Melisa sambil meletakkan tangan di dagu, gesturnya saat sedang berpikir keras.
"Eh? Nggak usah deh, Mel. Biar gini aja," ujar Adara. Ini adalah kesekian kalinya Adara menyatakan hal yang serupa. Gadis itu mencoba menghentikan Melisa di setiap tahapannya merias, selalu berkata bahwa yang sebelumnya sudah cukup dan tidak perlu merepotkan Melisa lagi. Melisa akan selalu membalas, justru ia tidak akan tenang kalau belum menyempurnakan apa yang ia mulai. Akhirnya pun, Adara pasrah membiarkan Melisa memasang roll di rambutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Mismatch So Perfect [COMPLETED]
Roman pour AdolescentsAdara dan Lionel ibarat kutub utara dan selatan. Mereka begitu berbeda, selayaknya dua keping puzzle yang tidak akan pernah cocok menyatu. Seharusnya, Lionel tetap menjadi lelaki tampan dan populer dengan dunia tak terjamah oleh Adara. Semestinya, A...