Melisa hampir tidak memaafkan dirinya sendiri. Kantuk dan lelah yang bercampur jadi satu membuatnya terjebak alam mimpi sedalam-dalamnya. Ia baru saja mendapat tidur paling tenang dan tak terganggu dalam dua minggu terakhir. Namun, ada harga yang harus ia bayar.
Pagi hari, tangan Melisa gemetar menggenggam ponsel yang kini sedang menampilkan layar percakapannya dengan Yuni, ibu Lionel. Pesan itu masuk nyaris tengah malam, mengabari bahwa otot-otot yang membantu rongga dada Lionel mengembang dan mengempis dalam setiap tarikan napas lelaki itu akhirnya menyerah, tak lagi mampu berfungsi. Penderita Sindrom Guillain-Barré memang diekspektasikan mengalami hal itu, tapi sampai tadi malam, Melisa terus saja berharap ada keajaiban yang akan menghindarkan Lionel dari mengenakan alat bantu pernapasan. Keajaiban yang tidak diwujudkan semesta.
Melisa mencuci wajah sekadarnya. Meskipun pikirannya sama sekali tidak tertuju ke sekolah, Melisa memutuskan untuk berseragam. Ia menelepon nomor sopirnya yang langsung diangkat dalam hitungan detik.
“Pak Bayu, ada emergency. Anterin saya ke rumah Adara, ya.”
-
Melisa duduk tidak nyaman di hadapan ibu dan anak yang sedang tidak akur. Rusmi, ibu Adara itu, mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Suaranya serak dan siapapun dapat menangkap kekecewaan di sana.
“Kamu masih Adara anak ibu bukan, ya? Ibu takut, Nak, Ibu jadi nggak kenal anak ibu satu-satunya ini.”
Melisa terkesiap. Ia menoleh ke pintu ruangan yang sedang tertutup. Sebagian dirinya ingin kabur saja, merasa percakapan ini terlalu privat. Sebagian yang lain ingin tetap tinggal, sebab dirinya adalah salah satu penyebab Adara berada di posisi ini.
Melisa memutuskan untuk tinggal.
Adara menundukkan wajah dalam-dalam. “Maafin Adara Bu. Adara juga nggak ngerti kenapa susah banget jujur sama Ibu, nggak kayak dulu. Adara bingung ... Adara cuma nggak mau Ibu tiba-tiba musuhin Lionel aja. Lionel udah dihujat sana-sini, Adara nggak siap denger hal kayak gitu keluar dari mulut Ibu. Terutama sekarang pas Lionel juga lagi berjuang buat bertahan hidup.”
Rusmi menghela napas panjang. “Nak, Nak ... Ibu salah, dulu nyuruh kamu berteman banyak-banyak di sekolah baru kamu. Paling bener kamu nemenin Fikri aja sampai kakek-nenek. Biar nggak ribet urusannya kayak gini!”
Hening. Adara membuka mulut beberapa kali, namun ditutupnya kembali. Sampai akhirnya, dengan suara mencicit, ia berhasil berkata, “Nggak ada salahnya berteman, kok, Bu. Lagian Lionel udah banyak bantu aku. Udah banyak bantu ... kita.” Adara perlahan mendongakkan kepala. “Aku juga udah sadar kesalahan aku. Aku enggak akan nutupin apapun lagi dari Ibu, termasuk juga kejadian di sekolah dan yang menyangkut orang-orang di sekitar aku. Maafin Adara ya, Bu?”
Air wajah Rusmi mulai melunak. Ia merengkuh tubuh Adara ke dalam pelukan. “Ibu cuma nggak mau kamu kenapa-kenapa, Nak. Kamu itu baik hati, tapi Ibu nggak mau kamu yang tersiksa karena berkorban buat orang lain. Utamain diri kamu, ya?”
Adara membalas pelukan ibunya dengan erat, lega bahwa kemarahan itu tidak bertahan lama. “Aku bakal jaga diri, Bu. Janji. Jadi, aku boleh telat ke sekolah buat jenguk Lionel dulu?”
Rusmi berpikir sejenak. Anggukan kepalanya menerbitkan senyum pertama Adara hari itu.
Di mobil, Melisa meminta maaf berkali-kali.
“Udah, Mel, bukan salah lo,” balas Adara. “Timing-nya aja yang pas banget.” Adara tersenyum kecut mengingat ulang rentetan kejadian pagi ini. Ibunya pulang dari kajian subuh di masjid dengan derap langkah yang lebih tegas dari biasanya. Ia tidak menoleh saat Adara bertanya tentang menu sarapan panti pagi itu yang sedang mereka siapkan. Setelah sarapan tersaji rapi, baru Rusmi mengajak Adara berbincang empat mata, menjauh dari keramaian anak-anak panti yang sedang bersiap berangkat ke sekolah. Adara langsung berkeringat dingin mendengar ibunya baru saja mengetahui tentang kasus Lionel dari orang tua Yasmina. Tidak lama kemudian, mobil Melisa berhenti di halaman panti, menarik perhatian semua orang. Melisa berlari menemui Adara sambil setengah berteriak, “Lionel masuk ICU, Ra! Dia kritis!”
KAMU SEDANG MEMBACA
A Mismatch So Perfect [COMPLETED]
Teen FictionAdara dan Lionel ibarat kutub utara dan selatan. Mereka begitu berbeda, selayaknya dua keping puzzle yang tidak akan pernah cocok menyatu. Seharusnya, Lionel tetap menjadi lelaki tampan dan populer dengan dunia tak terjamah oleh Adara. Semestinya, A...