[ 12 ] Surga Dunia

4.7K 493 49
                                    

Lionel benci bagaimana Demian Wijaya mewariskan semua garis-garis wajah dan postur tubuh kepada dirinya.

Lucu, sebab kebencian ini dahulu adalah sebuah kebanggaan. Dulu sekali, di tengah-tengah acara kumpul keluarga besar, nenek Lionel dengan tawa paling keras akan menyejajarkan foto Demian saat berusia lima tahun dengan foto Lionel di usia yang sama.

"Nggak ada bedanya, kan?" kekeh Helena, seorang wanita bersahaja dengan rambut keperakan.

Sudah sewindu ibunda dari Demian pergi meninggalkan dunia ini, artinya tidak ada lagi seseorang yang terlihat sangat bahagia menyaksikan fenomena copy-paste dua manusia ayah-anak itu. Namun, tidak perlu orang lain mengingatkannya, berhadapan dengan ayahnya seperti malam ini sudah cukup menyadarkan Lionel bahwa setengah dari dirinya adalah Demian.

"Tenang aja, Lio, peralatan masak dan alat-alat makan ini khusus kalau kamu berkunjung ke sini. Jadi nggak perlu khawatir bekas dipakai masak yang lain-lain. Oh ya, Mami masak kepiting asam manis favorit kamu, loh. Kata Ayah--"

"Makasih," potong Lionel tegas.

Wanita dewasa dengan potongan rambut pixie dan dua bola mata yang secara natural membulat besar itu berhenti mengoceh. Bibirnya terkatup, namun seulas senyuman tipis masih berhasil ia tampilkan.

"Makasih, Tante," ulang Lionel sambil menekankan kata terakhir.

Udara yang mengelilingi meja makan mereka memang sudah terasa sesak sejak tadi, seperti ada mendung yang sangat gelap menggantung di horizon. Tetapi, sekarang, mendung itu telah bertransformasi menjadi badai dengan petir menyambar-nyambar.

"Lionel Orlando Wijaya," panggil Demian dengan nada rendah yang luar biasa intimadatif, hanya tidak berefek apapun untuk Lionel.

Lionel mengangkat sebelah alis. Tangannya membalik sendok dan garpu yang tergeletak di sebelah piringnya. "Kenapa, Yah? Aku mau makan, nih. Tante udah masakin makanan kesukaan aku, katanya."

Suara gemertak gigi Demian dapat terdengar jelas oleh Sharon, istrinya. Wanita itu langsung menggenggam tangan kiri Demian yang terkepal. Bisa ia rasakan, ketegangan Demian berangsur-angsur surut. Lelaki itu memandangnya dengan penuh penyesalan, tapi Sharon malah tersenyum lebar sambil menggeleng pelan.

"Bagus, kalau kamu suka. Kita doa bersama dulu, ya. Lalu lanjut makan," ucap Sharon tanpa sedetik pun menghilangkan senyumannya.

Lionel bisa merasakan pandangan sengit Justin dan Ilana, dua anak Sharon dari pernikahan sebelumnya, yang duduk mengapit Lionel di meja makan ini. Ketika Lionel hendak membalas pandangan itu, keduanya memejamkan mata dan mulai berdoa.

"Nanti Mami mau oleh-oleh apa aja? Di-list aja, Mi. Aku nggak jago mikirin gituan." Justin mengakhiri penuturannya tentang rencana menghabiskan tahun baru di kampung halaman kekasihnya di Manado. Suara denting sendok dan garpu bertemu piring menemani percakapan santai malam ini.

"Yee, harusnya lo tuh, belajar romantis dikit. Lempeng banget jadi cowok. Kasih Mami kejutan, dong. Minta saran Kak Karen, kek," komentar Ilana sambil mencibir. Tawa meletus di meja makan itu, kecuali dari bibir Lionel.

"Mami tunggu kabar baiknya aja. Itu oleh-olehnya." Sharon mengedipkan sebelah mata.

Rona merah mewarnai pipi Justin. "Ck, Mi, jangan berharap yang tinggi-tinggi, ah."

Ilana memelototi kakak laki-lakinya. "Lo tuh, yang nggak gercep, kak! Usia udah mau kepala tiga, pacaran mau delapan tahun, belum juga mikirin ke jenjang berikutnya!"

"Gue masih 25 ya! Enak aja udah mau kepala tiga!" Justin lebih tidak sudi dengan sebutan "mau kepala tiga" dibanding sindiran Ilana yang lain.

Meskipun Lionel terlihat terlampau serius menelanjangi kepiting di piring sampai tidak menengadahkan kepala sama sekali, telinganya menangkap dengan jelas ramai meja makan ini oleh perdebatan-debatan kecil yang selalu berakhir dalam tawa. Lagi-lagi, keberadaan Lionel terasa seperti keping asing yang merangsek masuk merusak tatanan mozaik-mozaik yang telah menyatu padu sejak lama.

A Mismatch So Perfect [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang