[ 11 ] Venom

3.5K 507 96
                                    

Melisa mematut-matut tubuhnya di hadapan cermin. Gaun polos berwarna putih tulang sengaja ia kenakan supaya jaket tweed merk Chanel berwarna baby pink menjadi poin utama pakaiannya hari ini. Puas melihat bagaimana jaket itu memeluk figur jenjangnya dengan apik, Melisa mengacungkan ponsel untuk melakukan mirror selfie.

Gue akhirnya pilih yang warna pink, bukan yang biru. Looks good lah ya ;)

Ibu jari Melisa menekan tombol kirim. Chat dan potret outfit-nya tersampaikan ke gadis bernama Cindy.

Sudah tiga bulan berlalu semenjak Melisa menyadari bahwa dirinya bukan lagi satu-satunya wanita yang konstan ada di hidup Lionel. Keputusan yang Melisa ambil cukup dramatis: ia sengaja membawa gadis lain ke lingkaran pertemanannya yang sebelumnya hanya berisi dua orang. Ia ingin membuktikan, jika gadis seperti Adara bisa membuat Lionel mulai berpaling dari dirinya, seharusnya gadis seperti Cindy adalah distraksi luar biasa dari Adara, bukan?

Melisa pernah mengundang Cindy mengikuti makan siang di restoran favoritnya dan Lionel tanpa persetujuan lelaki itu dulu. Melisa juga pernah melaksanakan trik murahan, meninggalkan bioskop di detik-detik dirinya dan Lionel akan memasuki studio, dan secara kebetulan Cindy sedang berada di pusat perbelanjaan yang sama untuk menggantikan posisi Melisa.

Hasilnya? Tidak terlalu baik. Sejauh ini Lionel belum terlihat melakukan pendekatan yang signifikan kepada Cindy. Bahkan, berdasarkan keterangan Adam, Lionel juga tidak sedang mendekati gadis mana pun dalam daftar di Line dan direct message Instagram-nya yang seharusnya tak berujung.

"It's okay," ujar Melisa kepada pantulan dirinya di cermin. Sebelah tangannya menyisir pelan rambut yang sudah tertata rapi dan terjatuh halus di pundak. "Masih ada Bali," gumam Melisa sebelum berlalu menuju pintu kamar.

Rumah keluarga Adinata lebih mirip museum barang-barang antik dan berharga dari seluruh penjuru dunia daripada tempat berkumpulnya anggota keluarga di penghujung hari yang melelahkan. Barangkali memang seperti itu tujuan pembangunan rumah ini, berhubung Sandoro Adinata dan Margareth Adinata sebagai tuan dan nyonya rumah nyaris tak pernah menginjakkan kaki di sini.

Melisa terkekeh sendiri. Tiga hari belakangan terasa sureal, sebab ayah dan ibunya telah berada di rumah dan bersantai-santai tanpa menggelar pesta apapun. Makan siang di paviliun yang mengundang Adara dan Fikri sebentar lagi adalah kegiatan melibatkan pihak luar pertama yang dihadiri orang tuanya.

Pavilliun dengan pilar-pilar marmer putih itu tampak bersinar di tengah-tengah halaman keluarga Adinata. Sebuah meja bundar yang juga terbuat dari marmer putih dikelilingi oleh kursi-kursi besar dengan bantalan empuk.

Melisa sedikit terkejut mendapati keberadaan Adara dan Fikri.

"Nah, itu tuan putri udah dateng. Lama banget ya, Nak, dadannya? But nice choice of outfit." Margareth melebarkan kedua tangan. Melisa melihat itu sebagai gestur untuk merangkul dan memberikan ciuman di pipi kiri dan kanan sang ibunda.

"I thought the lunch is at twelve thirty." Melisa memberengutkan bibir.

"It is, tapi karena Adara dan Fikri udah sampai, ya nggak apa-apa kita ngobrol dulu di sini." Margareth memindahkan atensi ke dua orang yang duduk tegak di hadapannya. "Santai aja Adara, Fikri. Tante cuma mau kenalan aja, sama dengerin cerita kalian tentang Garda Bangsa."

Sandoro datang tidak lama setelah Melisa mendudukkan diri. Kedua orang tua Melisa mengutarakan pertanyaan-pertanyaan standar tentang pengalaman Adara dan Fikri di sekolah baru mereka. Sesuai dugaan, Adara praktis menjadi juru bicara untuk Fikri.

"Jadi, apa anak Tante ini ngebantuin kalian di sekolah? Tante nanya gini karena Melisa sering banget cuek sama lingkungan sekitar." Margareth melirik Melisa dengan ujung matanya. Melisa yang sedang memutar garpu untuk memilin untaian-untaian spageti balas melirik ibunya sambil mendengus.

A Mismatch So Perfect [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang