Sudah lama Adara tak menghabiskan waktu di panti selain membantu ibunya memasak di dapur. Pekerjaan itu lebih mengandalkan menuruti perintah dan prosedur resep daripada berinteraksi dengan orang lain. Maka dari itu, tidak bisa dipungkiri, Adara merindukan keramaian, kehebohan, dan kelucuan para penghuni panti.
Panti Semarak Cita hanya akan menampung penghuninya sampai mereka lulus sekolah dasar. Setelah itu, semua anak panti akan bersekolah di pondok pesantren sampai lulus SMA. Tahun ajaran ini baru saja usai hari Jumat lalu. Mega, Sofyan, dan Fahmi, adalah tiga anak tertua yang telah mendapat ijazah SD-nya. Tidak lama lagi, mereka akan berpisah dari panti dan seisinya.
Adara mengamati bagaimana ketiga orang itu menjadi lebih pendiam. Sofyan dan Fahmi adalah dua anak yang hampir selalu menginisiasi pertandingan sepak bola di halaman setiap ada waktu luang, tapi kali ini mereka memilih duduk-duduk di teras sambil membuka-buka halaman Majalah Bobo tanpa antusias. Mega sedang duduk manis, membiarkan Adara menyisir rambutnya, lalu mulai membentuk kepangan cantik. Tingkah Mega sebenarnya cukup normal, hanya saja mulutnya terkunci rapat dan tak ada ocehan-ocehan melengking yang menjadi ciri khasnya.
"Ngomong, dong. Sepi banget pagi-pagi," komentar Adara berusaha mencairkan suasana.
Fahmi menyerah berpura-pura membaca. Dihempaskannya majalah itu, lalu ia mengambil langkah panjang untuk duduk di sebelah Adara. "Kak Adara, bisa batalin kita pergi nggak, sih?"
Adara menghela napas. Ia menepuk-nepuk lantai di sebelah kirinya yang masih kosong, menjadi isyarat supaya Sofyan yang masih bergeming, duduk di kursi rotan berjarak beberapa meter dari mereka, untuk mendekat.
Ketika ketiga orang itu telah duduk mengelilinginya, Adara mulai berbicara, "Kalian tahu kan, kenapa kalian harus pergi?"
Mereka mengangguk lemah.
"Coba, satu orang cerita. Kenapa?"
"Karena bakalan ada tempat yang lebih cocok buat anak SMP dan SMA, tapi bukan di panti ini. Panti ini khusus buat anak kecil," jawab Mega pelan.
Sofyan mendengus kencang. "Berkembang apa, sih, maksudnya? Berkembang ke samping? Jadi gendut, dong?"
Adara terkekeh menatap Sofyan. Ia tidak tahu pertanyaan Sofyan barusan satire atau sungguh-sungguh, tapi sebagian hati Adara menghangat melihat betapa melekatnya Panti Semarak Cita di hati mereka, hingga susah untuk mengucapkan selamat tinggal.
"Sekarang susah sih, dibayanginnya. Berkembang seperti apa yang dimaksud. Tapi, coba kalian jalanin dulu, deh. Belajar yang rajin. Ikut ekskul. Cari kesibukan yang positif. Ikut lomba-lomba. Semua itu banyak banget di pondok nanti. Percaya sama kakak, di masa depan kalian bakal bersyukur banget dapat kesempatan sekolah di tempat bagus."
"Kayak Kak Ra sekarang, ya? Sekolah di tempat bagus?" Fahmi menaik-turunkan kedua alisnya.
Pertanyaan Fahmi sebenarnya sederhana saja, tapi Adara memikirkan jawabannya dengan sungguh-sungguh. Apakah ia bersyukur bersekolah di tempat yang bagus? Tentu. Apakah ia mendapat banyak manfaat di Garda Bangsa? Sangat. Namun, ia juga memiliki kenangan tak indah semasa SD dulu. Kenangan yang masih menghantuinya di masa-masa awal menginjakkan kaki di Garda Bangsa.
"Iya, kayak kakak, sekolah di tempat bagus. Tapi, bentar deh, aku mau ralat. Sebagus apapun sekolahnya, pasti tetep ada tantangan di sana. Pasti ada temen-temennya yang ngajak ke kejelekan, yang mungkin nggak mau temenan sama kalian. Mungkin pelajarannya susah, mungkin kalian kangen bisa bebas main kayak di sini ... tapi semua itu pasti dilaluin, asalkan kalian fokus ke kegiatan positif kayak yang aku sebutin tadi."
"Kata Bu Haji, anak pondok baik-baik," protes Mega sambil mengerutkan kening.
Adara menggenggam tangan gadis itu. Andai benar semua orang berhati baik, Mega. Sayangnya, Adara sudah pernah merasakannya sendiri. Bersekolah di tempat bagus, tapi hari-hari sekolahnya ia lewati dengan penuh penindasan. Seperti ada tali tak kasat mata yang mengitari lehernya, siap mencekiknya kapan saja. Sungguh, bukan perasaan yang menyenangkan.

KAMU SEDANG MEMBACA
A Mismatch So Perfect [COMPLETED]
Teen FictionAdara dan Lionel ibarat kutub utara dan selatan. Mereka begitu berbeda, selayaknya dua keping puzzle yang tidak akan pernah cocok menyatu. Seharusnya, Lionel tetap menjadi lelaki tampan dan populer dengan dunia tak terjamah oleh Adara. Semestinya, A...