[ 24 ] Dunia (Mungkin Tidak) Kiamat

2.7K 463 73
                                    

Semuanya terjadi begitu cepat.

Demian Wijaya berjalan dengan langkah tegap memasuki apartemen Lionel. Adam di belakangnya mengikuti dengan langkah terburu-buru. Kontras dengan wajah Adam yang tampak khawatir, Demian mengerutkan kening dan memicingkan mata ke segala arah. Lelaki paruh baya itu mengenakan kaos dan celana training, menandakan ia baru saja kembali dari salah satu lapangan golf, tempatnya berolah raga ringan bersama beberapa kolega bisnis.

"Lionel Orlando Wijaya! Ayah butuh bicara panjang lebar sama kamu!"

Gelegar suara Demian menyentak Lionel. Namun, keterkejutan itu hanya bertahan sedetik, sebab kemudian justru senyuman tipis yang tercetak di wajahnya.

"Halo, Yah," sapa Lionel pelan. Ia meletakkan kembali alat pel ke tempatnya. Lionel melangkah, perlahan, menghadap Demian. Terlihat jelas dari mata Demian yang menusuk Lionel, ada rasa frustrasi di sana. Ada rasa kecewa. Dan mungkin ... rasa jijik.

Lionel berpasrah diri ketika tangan kekar Demian meraih kerahnya. Badan lelaki itu terhuyung. Demian membawanya mendekat dengan kasar. Lionel dapat mengamati kerutan di ujung-ujung mata ayahnya dengan jelas dari jarak sedekat ini.

"Kamu," Genggaman Demian di kerah Lionel mengerat, "benar ada di video itu? Video porno yang sedang viral di internet?"

Menyambut anggukan Lionel dan ucapan "ya" yang lirih adalah sebuah bogem mentah. Kepalan tangan Demian menghantam pipi kanan Lionel tanpa ampun. Jeritan Melisa mengiringi desah kesakitan Lionel.

Anehnya, Lionel menikmati sakit ini. Sakit yang ia rasa sejak pagi tadi adalah bentuk sakit yang asing, sakit yang tidak terjamah oleh obat dan perban. Sakit di dalam sanubarinya yang terdalam. Namun, sakit yang seperti ini lebih masuk akal untuk Lionel. Ia malah tersenyum bahagia, saat tangan kiri Demian terangkat, bersiap memberikan tamparan pada pipi sebelah kiri, melengkapi pipi kanan yang Lionel yakin akan berwarna kebiruan sebentar lagi. Jika semua perasaan yang campur aduk bisa termanifestasi dalam bentuk pedih dan perih di tubuhnya, Lionel lebih memilih hal itu.

Namun, tamparan itu tidak pernah datang.

Demian melepaskan cengkeramannya dan mengambil tiga langkah ke belakang. Ekspresi bengisnya berganti dengan ekspresi yang sudah lama tidak Lionel lihat.

Ayahnya memandangnya iba.

Dan Lionel benci itu.

"Marahin Lionel, Yah. Marahin ..." bisik Lionel sembari mengepalkan kedua tangannya. Begitu keras hingga ujung-ujung kukunya menusuk kulit telapak tangan. "Jangan diem aja, Yah. Lio udah bikin Ayah malu, kan? Udah bikin Ayah kecewa? Lionel udah gagal jadi anak Ayah, jadi anak Bunda ... Atau mungkin ini bukan berita baru ya buat Ayah? Mungkin Lionel emang udah jadi anak gagal sejak bertahun-tahun lalu, makanya Ayah nggak kaget? Mungkin Lio--"

Rentetan ucapan Lionel terhenti. Lelaki itu mendadak bungkam. Sebab dari semua hal yang ia bayangkan akan ayahnya lakukan, hal ini tidak muncul di pikirannya.

Demian Wijaya merengkuh putranya dalam sebuah pelukan panjang.

Walaupun tinggi Lionel beberapa centimeter lebih dari Demian, Lionel merasa Demian lah yang menjadi tumpuannya saat ini. Lelaki empat puluhan itu tidak berbicara apa-apa. Hanya memberikan kehangatan dan usapan lembut di rambut putranya. Lionel memejamkan mata, memberi jalan untuk butir-butir air lolos dari sana. Sungguh, Lionel malu harus menangis lagi. Lionel benci menjadi selemah ini. Tetapi, rasa haru bercampur lega itu tidak terbendung.

"We're gonna have a very long talk," ujar Demian akhirnya. Ia melepaskan pelukan mereka, membuat Lionel mengeluh kecewa dalam hati. Kehangatan itu benar-benar nyaman. "Maaf yang tadi, ya? Ayah cuma ... terlalu banyak emosi yang muncul bersamaan, Ayah kebingungan. Tapi, Ayah tahu satu hal, Ayah tetap harus jadi ayah untuk kamu. Apapun yang terjadi, kamu masih anak Ayah."

A Mismatch So Perfect [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang