[ 41 ] Sweater Biru

2.5K 442 120
                                    

Votes and comments will be much appreciated <3

-

Kamar Lionel tampak jauh lebih hidup sekarang. Ada sentuhan-sentuhan anyar di setiap sudutnya, seperti rak baru yang terisi alat-alat menggambar dan meja belajar yang dipenuhi buku-buku pelajaran. Lelaki itu juga lebih sering membuka pintu kamarnya, membiarkan si kembar keluar masuk dengan mudah, sekedar mampir untuk menceritakan keseharian mereka dengan ceriwis atau berebut dukungan Lionel ketika sedang bertengkar.

Lionel sedang membolak-balik buku paket Ekonomi, mengingat-ngingat materi terakhir yang ia dapat di sekolah, ketika Yuni melangkah masuk ke dalam kamar. Tangannya membawa keranjang berisi pakaian Lionel yang sudah licin tersetrika.

"Eh, Bun, lain kali aku aja yang bawa ke sini dari bawah. Atau, lebih bagus lagi, Bunda ajarin aku nyetrika. Nyuci baju juga," tegur Lionel, lalu segera beranjak untuk membuka pintu lemarinya.

"Oke. Besok-besok Bunda ajarin. Tapi ada saatnya juga Bunda pingin manjain kamu, kali," jawab Yuni sambil terkekeh. Mereka berdua sibuk menata pakaian Lionel ke dalam lemari.

Tiba-tiba, badan Lionel membeku ketika sebagian tumpukan baju yang telah terangkat akhirnya menampakkan sweater berwarna biru.

Mengikuti arah pandangan Lionel, Yuni paham. Ia mengulurkan tangan, memberikan pijatan-pijatan ringan di bahu sang anak. Kemarin, Lionel telah menceritakan semua, termasuk bagaimana Adara memiliki masa lalu kelam yang terpaut erat dengan Cindy. Suatu kebetulan yang sayangnya menjadi akhir kesabaran Adara membersamai Lionel.

"Nggak apa-apa kalau masih sedih, jangan ditahan-tahan."

Suara lembut Yuni sedikit menenangkan batin Lionel. "Aku nggak ada marah sama sekali sama dia, Bun. Aneh, ya? Kalau dipikir-pikir her words should have hurt me that much, tapi aku malah ngerasa makin deket sama dia. I feel like I understand her pain. Aku tahu pasti gimana tersiksanya menyimpan trauma masa kecil selama bertahun-tahun, sendirian."

Yuni membimbing Lionel ke arah kasur. Lionel terduduk dengan pundak terjatuh.

"Kamu mau bantu dia?"

Lionel mengangguk. "Tapi nggak mungkin aku, kan, Bun? She hates my gut."

"Hm ... Melisa?"

"Enggak," Lionel menggeleng, "antara Adara juga benci dia karena dia yang ngenalin Cindy ke aku, atau Melisa nggak cukup simpatik untuk masalah ginian, atau dua-duanya."

"Kamu bilang dia punya banyak teman baru kan, akhir-akhir ini? Mungkin, kamu bisa minta tolong Melisa untuk minta tolong ke teman-teman baru dia ini?"

"Ah, bener juga, Bun. Nanti aku hubungi Melisa."

Tangan Yuni meremas pundak Lionel lebih keras. "Peduli sama seseorang meskipun dari jauh itu ... butuh ketulusan yang luar biasa. Kamu keren, Nak."

Pundak Lionel terangkat. "This is the least I can do, Bun. Dan mungkin cuma sampai di sini aja bisanya, ya, kan? Cerita Bunda sama Ayah bikin aku sadar kalau ada beberapa hal yang nggak bisa dipaksakan. Maybe I should just ... move on."

Yuni mengangguk-anggukkan kepala. "Kamu tahu, Lio, apa pelajaran terpenting yang berhasil Bunda ambil dari 41 tahun Bunda hidup di dunia ini?"

"Enggak. Apa tuh, Bun?"

"Pelajaran itu adalah ... nggak ada solusi yang manjur buat semua orang, bahkan untuk masalah yang mirip. Kita boleh banget cari inspirasi dari orang-orang yang lebih dulu merasakan apa yang kita rasakan. Tapi, masalah setiap orang itu unik, loh. Manusia punya jalannya masing-masing, kadang kamu harus jadi orang yang pertama kali mengambil jalan itu."

A Mismatch So Perfect [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang