"Mikasa?"
Seseorang mengetuk pintu. Mikasa yang tengah tertidur langsung membuka matanya.
Pintu terbuka sedikit dan wajah Hange terlihat. "Levi memanggilmu. Dia di halaman."
"Baik, Hange-san," kata Mikasa seraya bangun dari tempat tidurnya. Dia mengenakan jaket Survey Corps yang dia taruh di atas kursi dan berjalan menuju ke tempat Levi berada.
Levi sedang duduk di halaman, di meja tempat dia dan yang lain biasa makan di luar sekaligus tempat berjaga pada malam hari. Dia terliat tenang sambil menyesap tehnya dengan gaya yang aneh, tapi berkesan.
"Ya, Heichou?" tanya Mikasa seraya duduk di depan Levi.
Levi menaruh gelas tehnya ke atas meja. "Kau akan jaga malam bersama Eren nanti."
Mikasa bergeming. Dia hanya menatap Levi tanpa suara.
Levi menatap tajam Mikasa. "Kau keberatan?"
"Tidak, Heichou. Aku cek persedian blade dulu," kata Mikasa sambil berdiri.
"Aku belum selesai bicara," Levi bersedekap. "Duduk."
Mikasa kembali duduk. Dia dan Levi kembali bertatapan.
"Apakah aku bisa mengandalkanmu dan mempercayaimu untuk bertugas bersama Eren semalam suntuk, berdua saja, Mikasa?" tanya Levi.
"Apa maksudmu, Heichou?" Mikasa balik bertanya.
"Kau tahu apa yang sedang kita alami saat ini?" Levi berkata dengan tenang dan dingin seperti biasanya. "Perang, dan tidak ada waktu untuk mengatakan hal yang bersifat personal."
"Kau tidak menganggap Eren sebagai saudaramu. Perasaanmu lebih dari itu."
Jantung Mikasa mendadak berdegup kencang. Dia tidak pernah menyangka kalimat itu akan keluar dari mulut Levi.
Levi kembali menyesap tehnya dan meletakkan gelasnya di meja. "Selama kita tinggal di markas kecil ini, aku sengaja tidak menugaskanmu untuk berjaga di malam hari berdua Eren. Aku sengaja memisahkan kalian, karena tahu bahwa suatu hari, kau akan jujur mengenai perasaanmu padanya. Ini bukan waktu yang tepat. Bahkan menurutku, waktu yang tepat itu tidak ada karena manusia selalu memaksakan diri untuk bertindak tanpa memedulikan keadaan."
"Apa yang kau rasakan bukan urusanku. Tapi, menjaga Eren dan kalian semua untuk tetap hidup adalah urusanku. Perang adalah urusan kita semua di sini dan tak ada satu pun di antara kita dalam keadaan stabil. Aku tak mau semua rencanaku rusak hanya karena perasaan."
Kedua bola mata Mikasa bergerak. Kini dia menatap kosong gelas teh Levi dengan kedua tangan terkepal di atas pahanya.
"Jika kau ingin melakukan apa yang kau lakukan, mendahulukan perasaanmu agar kau merasa lega, silakan. Aku tak akan melarang," ucap Levi. "Tak ada yang tahu apakah keputusan kita dalam melakukan sesuatu itu selalu benar. Jika menurutmu benar, lakukan. Jika tidak, urungkan. Tak ada yang bisa menilai, tinggal bagaimana kau menerima akhir dari cerita yang kau buat."
Mikasa tetap tak bersuara. Dia berkali-kali menelan ludah.
"Tugas Survey Corps adalah melindungi dan menjaga keselamatan orang-orang. Jika aku memikirkan perasaanku sendiri, aku mungkin sedang santai sore sambil minum teh di kedaiku sekarang, tanpa memedulikan mereka yang mati dimakan Titan-titan itu," kata Levi. "Bagaimana, Mikasa? Apakah kau bisa berjaga dengan Eren malam ini?"
Mikasa terdiam sebentar. Dia mendongak, menatap Levi. "Bisa, Heichou. Kau bisa percaya padaku."
***
"Oh, terima kasih, Mikasa," Eren menerima gelas berisi teh hangat dari Mikasa. "Setelah beberapa minggu, akhirnya kita mendapat giliran untuk berjaga bersama malam ini."
Mikasa duduk di hadapan Eren yang sedang menyesap tehnya. Eren menaruh gelasnya ke atas meja dan melihat ke langit.
"Beruntunglah bulannya terlihat walau hanya setengah. Setidaknya, kita bisa melihat ada kehadiran sosok raksasa dari kejauhan meski samar-samar," kata Eren.
Mikasa terdiam. Dia hanya memegang gelas tehnya dengan keduanya tangannya.
Eren menoleh ke arah Mikasa. "Ada apa, Mikasa?"
"Ah, tidak," Mikasa tersenyum kecil. "Aku tiba-tiba berpikir, kapan semua ini selesai."
Eren meghela napas panjang dan kembali memandangi bulan. "Mungkin tak akan selesai sampai aku melakukan apa yang seharusnya aku lakukan. Menghancurkan Marley dan menentukan siapa pewarisku berikutnya."
"Apakah itu harus, Eren? Menghancurkan Marley?" tanya Mikasa.
"Jika aku tidak menghancurkan Marley, mereka akan terus mencariku dan itu membahayakan Eldia. Kalau pun ada orang yang mewarisi Founding Titan-ku, mereka juga akan mencari orang itu. Tak ada kata damai di sini, Mikasa. Perang akan terus terjadi," jawab Eren.
Mikasa kembali terdiam sejenak. "Apakah aku harus kehilangan kamu, Eren?"
Secara perlahan, Eren mengalihkan pandangannya ke arah Mikasa. Mulutnya sedikit terbuka.
"Kenapa kau bicara seperti itu? Aku tidak akan..."
"Apapun yang terjadi, aku pikir aku akan tetap kehilangan kamu," kata Mikasa. "Karena saat ini, aku kehilangan sosokmu yang dulu. Eren yang aku kenal."
"Semua orang berubah, Mikasa," nada Eren sedikit meninggi.
Mikasa mengangguk. "Aku tahu. Mungkin, aku merindukan momen itu, ketika kita masih menjadi kadet, belajar menggunakan manuever gear. Sekarang, semuanya..."
"Banyak yang mati, Mikasa," kedua mata Eren melebar. "Tak ada waktu untuk merindukan momen itu. Kehidupan kita sekarang sudah lebih dari nyata. Waktu berjalan sangat cepat tanpa kita sadari."
Tangan kanan Eren yang berada di atas meja terkepal. "Tentu saja aku berubah. Sangat berubah. Darah The Founding Titan mengalir dalam tubuhku dan ayahku sendiri yang mengubahku menjadi Titan. Aku memakannya, Mikasa. Aku memakannya. Saat ini, aku diburu oleh banyak orang. Mereka menginginkan aku. Dan, tak sedikit yang menginginkanku mati."
"Aku tidak bisa memikirkan diriku sendiri meski aku ingin. Aku tidak bisa hanya memikirkan kau dan Armin saja. Aku harus memikirkan Eldia dan ratusan ribu orang lainnya yang tidak bersalah dalam perang ini. Aku harus bisa mempertimbangkan dan menerima rencana yang ada tanpa memedulikan berapa banyak orang yang tak bersalah mati karena perang dan politiknya."
"Kau pikir mudah menjadi aku, Mikasa? Berada di posisi itu? Aku hanyalah korban dari runtuhnya Wall Maria. Aku adalah anak yatim piatu yang lahir di Shiganshina, yang berusaha mencari tahu kenapa ibuku harus mati dimakan Titan bernama Dina Fritz yang ternyata istri pertama ayahku? Kau pikir..."
"Cukup, Eren," suara Mikasa meninggi. "Aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu. Tak ada yang bisa menjawabnya kecuali kau sendiri."
KAMU SEDANG MEMBACA
Attack on Titan: Voices
FanfictionSisi lain dari cerita yang kamu enggak akan dapatkan dari serial Attack on Titan / Shingeki no Kyojin. Yes, Their side stories and Eren's dream.