"Eren, ayo kita cek kawasan Barat," ajak Armin. "Kita sudah bersantai cukup lama di sini. Kawasan Barat dicek terakhir kali oleh Levi Heichou dan Hange-san tadi pagi."
Eren dan Armin sedang beristirahat setelah keduanya berpatroli dari Timur ke Selatan. Mereka sedang tiduran di atas rumput dan sudah menghabiskan 20 menit waktu istirahat mereka.
"Oke, 10 menit lagi," pinta Eren yang masih tiduran. Lengan kirinya masih menutupi wajahnya agar tidak terkena silau matahari. "Bukan kewajiban kita mengecek area Barat, kita bisa bersantai sedikit, 'kan?"
Armin mendengus dan kembali duduk di samping Eren. Dia memandangi hamparan luas rerumputan di depannya.
"Damai sekali ya, rasanya," ucap Armin pelan. "Aku selalu senang beristirahat di sini. Ini juga tempat favorit Mikasa."
Eren tidak menjawab. Mulutnya sedikit terbuka. Kelihatannya, ia tertidur.
"Eren," Armin menepuk bahu Eren. "Jangan tidur lagi."
"Tidak, aku tidak tidur," jawab Eren.
"Kau bertengkar dengan Mikasa, Eren?" tanya Armin.
Eren tidak langsung menjawab. "Tidak."
"Gelagat kalian aneh sejak kalian jaga malam bersama," kata Armin.
Eren mendengus dan bangun. Dia duduk bersila dan melepas ikat rambutnya.
"Aku sempat berdebat dengannya malam itu," kata Eren sambil menyibak rambutnya. "Bukan hal besar. Aku hanya... Sensitif saat mendengar Mikasa bicara soal masa lalu. Dia bilang, aku banyak berubah."
Armin menatap Eren tanpa suara. Dia paham apa yang dibicarakan Eren.
"Semua orang berubah, Armin. Kita tahu itu. Hanya saja..."
"Sudah, sudah," Armin menyela omongan Eren sebelum sahabatnya itu bicara hal-hal yang mengerikan. "Aku mengerti."
"Aku pikir, Mikasa hanya ingin bicara banyak denganmu. Hanya saja, jadwal patrolimu dan dia tidak pernah bertemu."
"Aku yang meminta Levi Heicho untuk tidak menyatukan jadwal patroliku dengan Mikasa," kata Eren.
Armin terbelalak menatap Eren. "Kau menghindari Mikasa? Kenapa?"
"Karena dia tidak nyaman dengan apa yang sedang kita jalani sekarang," jawab Eren seraya mengikat rambutnya. "Aku tahu dia, Armin. Aku sangat tahu dia. Mikasa ingin mengeluh padaku tentang semua keputusan yang telah aku ambil dan keadaan kita saat ini. Aku tidak mau mendengarnya. Kemungkinan besar, kalau aku dan dia punya waktu bersama, dia akan bicara soal itu. Dan terjadilah pada malam itu."
"Kita tidak bisa memutar waktu. Apa yang telah terjadi, kita tidak bisa mengubahnya. Sampai detik ini, aku tahu Mikasa adalah orang yang paling kecewa mengetahui darah Titan mengalir di dalam tubuhku. Sampai sekarang, dia masih belum menerima hal itu. Aku tahu kau juga kecewa. Tapi, apa yang bisa kita lakukan? Tidak ada."
"Satu-satunya jalan adalah, memanfaatkan kekuatan ini sebelum waktuku habis. Untuk kedamaian dunia, untuk kemanusiaan."
Armin tersenyum kecil. "Aku mengerti, Eren. Mikasa merasakan itu karena dia hanya punya kau."
Eren menunduk. "Aku paham itu."
Tak ada yang bicara selama beberapa menit. Eren menarik napas panjang dan menatap Armin.
"Apakah aku egois, Armin?"
Armin kembali tersenyum. "Semua orang egois, Eren. Semua orang punya kepentingan masing-masing. Semua orang ingin didahulukan, itu wajar."
"Sekarang, bagaimana caranya agar Mikasa bisa lebih menerima keadaan. Dia harus beradaptasi dengan apa yang terjadi. Semakin dia menolak, dia akan merasa semakin tidak nyaman. Mikasa harus bisa mengerti itu."
Eren terdiam sebentar. "Terima kasih, Armin. Terima kasih sudah mau mengerti meski sulit."
Armin tersenyum lebar. "Terima kasih juga mau mengerti aku sampai sekarang, meski kau juga merasa kesulitan untuk melakukannya."
Eren tersenyum kecil dan menatap hamparan rumput di depannya.
"Armin," Eren menghela napas. "Menurutmu, apa artinya aku untuk Mikasa?"
Armin terdiam. Mulutnya terbuka, tapi tidak ada kata yang keluar.
Eren menoleh pada Armin. "Armin?"
"Kau harus mendengarnya langsung dari Mikasa, bukan aku," jawab Armin.
"Aku sudah dengar jawabannya saat kami jaga malam," kata Eren.
Kedua alis Armin terangkat. "Dia bilang apa?"
Eren diam sebentar. "Keluarga."
Armin menutup keduanya matanya. Dia menarik napas panjang dan kembali membuka mata.
"Mungkin itu memang jawaban yang seharusnya Mikasa ucapkan."
"Aku merasa dia tidak jujur, Armin."
Armin menatap Eren. "Maksudmu?"
Eren menunduk. Dia kembali terdiam. "Mungkin, itu hanya perasaanku."
Senyum di wajah Armin merekah. "Kelihatannya, kalian harus kembali jaga malam bersama."
Armin menepuk-nepuk bahu Eren. "Pesanku, coba dengarkan apa yang ingin dia katakan tanpa menyelanya. Ayo, kita jalan sekarang. Sudah 10 menit lebih kita di sini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Attack on Titan: Voices
FanficSisi lain dari cerita yang kamu enggak akan dapatkan dari serial Attack on Titan / Shingeki no Kyojin. Yes, Their side stories and Eren's dream.