"Terbuka pada diriku sendiri?"
"Ya. Kau harus belajar membaca dirimu sendiri. Ada beberapa hal yang ingin kau dapatkan dan kau capai. Di antaranya, ada hal yang kau kesampingkan karena kau merasa hal itu tidak penting, seperti katamu tadi. Percayalah, semua hal itu penting. Paling tidak, untuk kita rasakan sendiri, untuk kepuasan pribadi."
"Kondisi kita sekarang memang tidak mendukung untuk memikirkan hal-hal sekunder. Tapi, hal-hal itulah yang membuatmu merasa tenang dan lega. Buktinya, kau merasa tenang saat melihat Mikasa."
Eren terdiam. Jemarinya masih bermain dengan rerumputan. Dia baru menyadari hal-hal sekunder sebenarnya juga tidak kalah penting. Sekilas, dia tidak membutuhkannya. Tapi, jika dipikirkan lebih dalam, ada rasa butuh untuk itu.
"Bagaimana caranya agar aku bisa terbuka dengan diriku sendiri, Connie?" tanya Eren.
"Memikirkannya terus-menerus, Eren. Tanpa membantahnya, tanpa meragukannya, dan menerimanya dengan ikhlas," jawab Connie.
Connie tersenyum lebar seraya menepuk-nepuk bahu Eren. "Kau terlalu berputar-putar untuk hal yang satu ini, Eren. Kau terlalu serius."
Eren menatap Connie. "Kalau kau sendiri, siapa orang yang membuat jantungmu berdebar hebat saat melihatnya?"
Connie tertawa. "Tentu saja, Levi Heichou. Melihatnya sudah duduk di meja makan pada pagi hari membuat jantungku seperti siap untuk meledak. Padahal, aku muncul tepat waktu."
***
"Mikasa!" Armin melambai pada Mikasa. "Banyak beri di sini!"
Mikasa turun dari kudanya dan menghampiri Armin yang sedang berjongkok di depan semak-semak.
"Blueberry, Mikasa! Kesukaan Jean!" kata Armin. "Ayo, kita ambil beberapa untuk camilan di markas!"
Mikasa ikut berjongkok di samping Armin dan memetik blueberry. Mikasa dan Armin memasukkan blueberry-blueberry tersebut ke dalam kantung makanan mereka.
"Kau baik-baik saja dengan Eren, Mikasa?" tanya Armin tiba-tiba.
Mikasa tersentak. "Oh? Kami baik-baik saja."
"Baguslah," ucap Armin.
"Kenapa kau bertanya begitu?" tanya Mikasa.
Armin tersenyum. "Kita sudah lama berteman, Mikasa. Aku tahu sifat kalian. Sejak kalian berdua jaga malam, sampai detik ini, aku merasa kau sedang berusaha menahan diri untuk tidak banyak bicara dengan Eren."
Mikasa melirik Armin seraya menelan ludah. "Tidak juga."
"Mikasa, aku tahu kamu," kata Armin. "Aku tahu apa yang kalian bicarakan. Eren menceritakannya padaku."
Mikasa terdiam. Dia terus memetik blueberry dan memasukkannya ke dalam kantung makanannya.
"Kau sudah bilang padanya?" Armin kini melirik Mikasa. "Soal perasaanmu?"
Mikasa masih tak bersuara. Wajahnya terlihat tak nyaman, tapi Armin yakin Mikasa akan menjawab pertanyaannya.
Mikasa mendengus. "Aku pikir, lebih baik aku tidak mengungkapkannya. Mungkin, tidak akan pernah."
"Eren terlalu fokus pada dirinya sendiri. Dia tidak akan mengerti perasaanku."
"Kenapa kau begitu yakin kalau Eren tidak akan mengerti perasaanmu?"
"Kau tahu dia, Armin. Kita tahu dia. Aku yakin suatu saat nanti, akan ada waktu di mana dia akan meninggalkan kita demi kepentingannya, seperti yang kau pernah bilang padaku beberapa minggu lalu."
Armin mendengus. "Itu hanya prediksiku saja, melihat kondisi Eren saat ini. Aku yakin dia akan memikirkannya berulang kali, tidak secara impulsif."
"Aku harap begitu. Sifatnya yang satu itu tidak pernah berubah dari dulu sampai sekarang."
Armin memasukkan blueberry terakhir yang dia petik ke kantung makanannya. "Sampai kapan kau akan terus menahan diri dan menyebutnya 'demi kebaikan orang lain', Mikasa?"
Mikasa bergeming. Dia tidak bisa membantah perkataan Armin, karena apa yang sahabatnya katakan seratus persen benar.
"Aku tidak tahu," Mikasa mendengus dan berdiri. "Aku sudah selesai. Kita kembali ke markas sekarang."
Armin berdiri dan menatap Mikasa. "Kalian harus bicara. Berdua."
"Lagi?" Mikasa mendesah. "Aku tidak ingin menambah beban pikirannya."
"Lalu, bagaimana caramu untuk meringankan bebanmu sendiri, Mikasa?"
Mikasa kembali terdiam. Raut wajahnya berubah sedih.
"Aku tak akan mendapatkan jawaban apapun dengan berbicara lagi dengannya, Armin. Jika kau memintaku untuk tidak berekspektasi, aku tidak bisa. Dengan mengakui perasaanku padanya, bahwa aku mencintainya, bukan sebagai saudara, sudah jelas aku mengharapkan jawaban yang sesuai dengan ekspektasiku. Kami tidak ada di frekuensi yang sama untuk hal itu, Armin. Jadi, percuma."
Armin mendengus keras. "Paling tidak, dia tahu perasaanmu yang sebenarnya. Waktu kita tidak banyak, Mikasa. Waktu Eren tidak banyak."
Wajah Mikasa berubah. Dia menunduk, kedua tangannya mengepal.
"Untuk apa aku mengakui perasaanku..." suara Mikasa bergetar. Air matanya menetes. "Jika orang itu pada akhirnya akan meninggalkanku?"
Armin bergeming menatap Mikasa. Ucapan Mikasa barusan membuat hatinya hancur.
"Mikasa," Armin mengelus bahu Mikasa. "Aku hanya tidak ingin kau menyesal. Kau sudah menyimpannya sejak lama, dan aku ingin kau memikirkan dirimu sendiri."
Mikasa berusaha keras membuat tangisnya berhenti. Dia menarik napas berulang kali, mencoba mengaturnya agar emosinya kembali terkontrol.
"Aku..." Mikasa kembali menghela napas. "Aku benar-benar tidak tahu, Armin. Aku sadar aku kesulitan karena terlalu memikirkan Eren. Aku selalu memikirkannya, aku tidak pernah tidak memikirkannya."
Armin tersenyum kecil. "Aku tahu, Mikasa. Dengarkan dirimu sendiri, ikuti apa kata hatimu. Pikirkanlah, agar kau tidak menyesal dan bisa merasa lega. Apapun jawaban Eren, kau harus menerimanya dengan berbesar hati. Jangan mempersulit dirimu sendiri."
Armin memeluk Mikasa dan menyeka air matanya. "Ayo, kita kembali ke markas."
KAMU SEDANG MEMBACA
Attack on Titan: Voices
Fiksi PenggemarSisi lain dari cerita yang kamu enggak akan dapatkan dari serial Attack on Titan / Shingeki no Kyojin. Yes, Their side stories and Eren's dream.