Reality

493 36 26
                                    


Eren membuka kedua matanya. Sinar matahari menyilaukannya, membuat dia menghadap ke kanan. Pandangannya tertuju pada pintu kayu yang terbuka dan ada seseorang di sana.

Mikasa berdiri di ambang pintu. Dia mengenakan kemeja putih, celana putih, dengan boots cokelat setinggi lutut.

"Eren! Mandi dulu!" Mikasa menghampiri Eren. "Mandi dulu, baru tidur si..."

Mikasa tidak menyelesaikan kalimatnya. Dia terdiam melihat Eren.

"Eren?" Mikasa berjongkok di depan Eren. "Kenapa kamu menangis?"

Eren masih memandangi Mikasa. Air matanya tidak berhenti mengalir. Eren bisa merasakan bibirnya gemetar hebat.

"Eren?" Mikasa menyentuh pipi Eren. "Ada apa?"

Eren bangun dan langsung memeluk Mikasa. Dia membuat Mikasa duduk di atas pahanya dan memeluknya erat.

"E-Eren?" Mikasa kebingungan di pangkuan Eren. "A-ada apa?!"

Eren masih tidak menjawab. Dia hanya menangis sampai terisak-isak. Sekitar 10 menit, Eren pun berhenti menangis dan keduanya duduk berhadapan.

"Apa yang kamu mimpikan, Eren?" tanya Mikasa.

"Aku tidak ingat banyak hal. Yang aku ingat hanya aku berada di kehidupan yang lain," ucap Eren.

"Kehidupan yang lain? Apa maksudmu?"

"Aku tidak tinggal di dunia ini, Mikasa."

Mikasa menarik napas panjang. "Aku tidak mengerti maksudmu, Eren. Lalu, apa yang membuatmu menangis?"

Mikasa memandangi Eren yang menunduk tanpa suara. Cukup lama, dan Mikasa mulai kehilangan kesabaran.

"Eren, ada apa?!" tanya Mikasa dengan nada tinggi.

"Aku memimpikan kematian. Banyak orang yang mati, dan aku khawatir tidak bisa menyelamatkan kau dan yang lain," jawab Eren.

Mikasa terdiam sebentar. "Di mimpimu, apakah aku mati?"

Eren tidak langsung menjawab pertanyaan Mikasa. Dia hanya memandangi Mikasa sambil menarik napas panjang.

"Tidak," jawabnya.

Mikasa mendengus. "Eren, dalam kondisi seperti ini, kita bisa memimpikan hal-hal yang mengerikan. Rasa takut yang tidak pernah kita perlihatkan pada orang lain di dunia nyata bisa saja terbawa ke alam tidur. Aku yakin kau sedang mengalami itu."

"Ceritakan saja semuanya padaku. Aku pasti mendengarkanmu."

Eren tidak menjawab dengan suara, namun dengan anggukkan. Mikasa menepuk-nepuk pipi Eren dan berdiri.

"Sekarang kau mandi. Lalu, tidur siang. Kalau kau tidak bisa tidur lagi, sebaiknya kau cicipi masakanku di bawah. Aku merasa sup yang aku buat terlalu asin," ucap Mikasa.

Mikasa baru mau berjalan keluar kamar, namun Eren sudah meraih tangannya. Keduanya kini saling menatap.

"Aku..." Eren menarik napas dalam-dalam. "Aku lega melihatmu dalam keadaan utuh dan bernapas."

Mikasa tidak menjawab. Dia hanya memandangi Eren dengan wajah sedih. Dia ingin sekali mengetahui apa yang sebenarnya dimimpikan oleh Eren. Tapi, dia tidak memaksakan kehendaknya karena Eren tidak begitu mengingat mimpinya.

"Aku tidak akan ke mana-mana," Mikasa mengelus punggung tangan Eren. "Aku tidak akan pernah jauh darimu. Sekarang, kau mandi saja dulu."

Eren melepaskan tangan Mikasa dengan perlahan. Mikasa berbalik dan meninggalkan Eren sendirian. Eren masih terdiam memikirkan mimpinya. Banyak sekali kejadian-kejadian yang dia tidak bisa ingat. Yang ia ingat hanya satu, Mikasa meninggal di pelukannya.

Eren berdiri dan mengambil rokok dari atas meja di kamarnya. Dia membakar satu batang dan duduk di atas tempat tidurnya. 

Mulai detik ini, aku berjanji tidak akan memberi tahu Mikasa tentang rencanaku.

Tidak. Aku tidak akan bilang pada siapapun.

Aku ingin Mikasa bahagia, dan aku ingin dia melupakan aku.

Aku sadar, aku membawa kematian dalam tubuh dan hidupku.

Aku ingin dia bebas.

Aku ingin semua orang bebas.

Aku ingin Mikasa dan yang lain hidup tenang setelah semua ini berakhir.

Begitu juga dengan aku.

Eren merasa yakin dengan keputusannya. Namun, setelah ia pikir-pikir lagi, dia bisa saja melunak jika Mikasa menyatakan perasaannya yang sebenarnya padanya. Eren sadar bahwa selama ini, Mikasa hanya memedulikan dia, lebih dari Armin dan yang lain. Eren sadar betul bahwa Mikasa sudah lama memendam rasa padanya, dan Eren juga mengakui kalau dia juga merasakan hal yang sama.

Tapi, perasaan seperti itu tidak ada gunanya di dunia ini. Di dunia yang menakdirkannya untuk hidup dengan dua tubuh, sebagai manusia dan Titan. Banyak hal yang lebih penting untuk diurus. Untuk manusia, kemanusiaan, dan dunia. Terutama, untuk orang-orang Eldia.

Eren tidak punya cara lain untuk mengalah pada takdir. Awalnya, dia tidak pernah percaya pada hal semacam itu. Eren percaya bahwa manusia adalah penentu masa depan mereka masing-masing. Tapi, Eren sadar dia salah. Dia adalah pengecualian. Hidupnya ditentukan oleh orang lain, yaitu mendiang ayahnya, Grisha Yeager, yang sisanya dia tentukan sendiri. Kini, dia harus menyelesaikan apa yang Grisha dan dirinya di masa depan sudah takdirkan padanya.

Tidak adil, kata Eren dalam hati. Tapi, dia tidak punya cara lain. Eren ingin semua orang hidup tenang dan bahagia. Paling tidak, kutukan Titan di dunia akan berhenti suatu saat nanti. Eren sadar hanya dirinya yang bisa menghentikannya. Dia harus bertemu Zeke, lalu Ymir Fritz, untuk menghentikan kutukan tersebut.

Lalu, bagaimana dengan Mikasa?

Bagaimana jika nanti aku meninggalkannya?

Eren berhenti berpikir. Dia antara yakin dan tidak yakin Mikasa akan bahagia. Di satu sisi, dia ingin terus diingat oleh Mikasa. Namun, Eren tetap mengurungkan niatnya. Dia menyerahkan semuanya pada Mikasa. Karena Eren percaya, Mikasa akan tetap mencintainya meski dia sudah tiada.

"Eren," Mikasa kembali menampakkan diri di depan pintu. "Aku lupa bilang, tadi pagi sekali Levi Heichou meminta kita untuk meninggalkan markas ini."

Eren menaikan kedua alisnya. "Karena?"

"Tidak selamanya, hanya sebentar. Dia minta kita untuk ikut ekspedisi ke kawasan pantai," ucap Mikasa. "Aku mau melanjutkan membuat makan malam. Sampai nanti, Eren."

Eren terdiam mendengar ucapan terakhir Mikasa. Entah di mana dia pernah mendengar kalimat itu, tapi rasanya seperti kalimat itu sudah biasa sekali diucapkan Mikasa ke padanya.

Eren kembali melihat pemandangan di luar jendela. Matahari tertutup awan, membuat cuaca tidak sepanas beberapa menit yang lalu.

Apakah ada kehidupan lain di dunia ini,

Yang bisa menyatukan aku dan Mikasa dalam keadaan hidup,

Sampai maut memisahkan di saat kami tua nanti?

Eren mendengus. Dia mematikan rokoknya ke asbak yang berada di lantai dan berdiri. Dia mengambil kaus berwarna hijau tua yang berada di atas kursi dan berjalan menuju kamar mandi.

Aku rasa, aku lebih baik mencintainya dalam diam.

Dan aku akan menyimpan rasa itu sampai aku mati di pelukannya.



-END-






*Thank you for reading my story, ladies and gentlemen.
Boleh ya, komentarnya untuk fanfiction ini.
Aku mau denger, karena siapa tau, aku bisa bikin lagi dalam waktu dekat.
Sekali lagi, terima kasih.
Thank you for reading.
戦え.

Attack on Titan: VoicesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang