Intervene - 5

416 57 4
                                    


Eren masih menatap Mikasa dengan napas tersengal. Emosinya memuncak. Eren benci mengatakan apa yang ada di pikirannya pada orang lain, termasuk Mikasa. Dia sadar, tidak ada yang bisa menjawab semua pertanyaannya dan Mikasa telah membuktikannya.

Mikasa, dengan tenang, menyeruput tehnya. "Apapun yang kau lakukan, aku tidak akan pergi meninggalkan kamu. Aku akan terus berdiri di sampingmu, di kala susah, sedih, maupun senang."

Napas Eren perlahan kembali teratur. Ucapan Mikasa membuatnya terdiam sejenak, dan mendadak, memberikan dorongan untuk menanyakan sesuatu.

"Apa artinya aku untukmu, Mikasa?"

Mikasa melotot menatap Eren. Jantungnya berdegup sangat kencang.

Waktu yang tepat itu tidak ada karena manusia selalu memaksakan diri untuk bertindak tanpa memedulikan keadaan.

Ucapan Levi terngiang di benaknya. Di satu sisi, Mikasa sudah menunggu cukup lama untuk mendapatkan giliran jaga malam bersama Eren. Hanya untuk satu hal, yang kini dia ragukan.

Tak ada yang tahu apakah keputusan kita dalam melakukan sesuatu itu selalu benar.

Tak ada yang bisa menilai, tinggal bagaimana kau menerima akhir dari cerita yang kau buat.

"Kau..." suara Mikasa bergetar. "Kau adalah keluargaku."

Eren terdiam. Dia masih memandangi Mikasa.

"Aku akan selalu melindungimu. Pegang janjiku," kata Eren.

Mikasa mengangguk pelan. Dia menatap gelas tehnya. Isinya tinggal setengah. Angin dingin menerpa wajahnya. Perasaannya tak karuan.

"Eren," Mikasa berdiri. "Aku mau mengecek sekeliling markas. Kita bicara cukup lama di sini, dan seharusnya, 10 menit yang lalu, salah satu dari kita sedang melakukannya."

Mikasa mengambil satu dari dua lentera yan berada di atas meja. "Perhatikan pepohonan," ucapnya sambil berlalu.

***

"Sampai kapan kau memperhatikan mereka?"

Levi tidak menjawab. Sambil bersandar ke pinggir jendela dan bersedekap, kedua matanya mengikuti Mikasa yang pergi ke sisi kiri luar markas. Kini, pandangannya mengarah kepada Eren yang tidak bergerak di meja.

"Levi," Hange mendengus keras dan ikut bersedekap. "Itu urusan pribadi mereka. Sudahlah."

"Aku tak ingin urusan pribadi mengganggu kinerja anak-anak buahku," ucap Levi. "Mereka sudah telat 10 menit lebih untuk mengecek area lain dari markas ini."

"Dan kau menyebut mereka egois karena itu?" tanya Hange.

"Semua orang egois, Hange," jawab Levi. Dia masih memperhatikan Eren yang kini menopang kepalanya dengan tangan kanannya. "Begitu juga aku."

"Kau? Sejak kapan?" suara Hange terdengar seperti menyindir. "Dulu, kau memang begitu. Tapi, sekarang..."

"Aku masih egois sampai detik ini, Hange," Levi mendengus pelan. "Aku egois demi ratusan ribu nyawa orang-orang di dalam Wall Maria, Wall Rose, dan Wall Sheena agar mereka tetap hidup."

"Ya, ya, ya," Hange ikut mendengus. "Sebaiknya kau tidur. Besok pagi kau harus pergi ke Trost untuk bertemu Pyxis."

Levi bergerak. Dia berjalan mendekati Hange yang sedang duduk di meja di tengah ruangan. "Kau duluan saja. Aku akan tidur satu jam lagi."

Levi menatap meja yang penuh dengan catatan Hange soal Titan. "Bereskan ini. Tidak rapi sekali."

"Levi," Hange menatap Levi. "Menurutmu, apa yang ada di pikiran Eren saat ini?"

Levi berjalan menuju jendela di belakang Hange dan bersandar di sana. "Kematian. Mungkin."

"Apakah dia masih Eren yang sama dengan Eren yang dulu?" Hange memutar tubuhnya dan menatap Levi. "Tanggung jawabnya makin besar. Apakah dia benar-benar memikirkan kematian?"

Levi menghela napas panjang. Kedua matanya mencari sesuatu dalam kegelapan malam di luar jendela. "Memikirkan kematian adalah hal yang wajar, Hange. Tanggung jawabnya yang semakin besar sama saja menambah daftar kemaitan orang-orang terdekatnya, bukan berarti dia memikirkan kematiannya sendiri."

Hange terdiam sebentar dan menempelkan dagunya ke bagian atas kursi yang ia duduki. "Selain itu, apa yang dia pikirkan?"

Dalam diam, Levi menangkap sesuatu yang bergerak dalam kegelapan. Secercah cahaya berwarna kuning tiba-tiba muncul. Levi melihat Mikasa terduduk di atas rumput seraya menangis sambil menutup mulut dengan kedua tangannya.

Pandangan Levi yang tadinya terlihat tajam perlahan memudar. Dia mengernyitkan dahinya sambil terus memandangi Mikasa.

"Perasaan orang lain, Hange," ucap Levi pelan. "Perasaan orang lain yang mencintainya dan mau berkorban nyawa untuknya. Tapi, kenyataan tidak mengizinkanya untuk terlalu lama memikirkan hal itu."

Attack on Titan: VoicesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang