Intervene - 3

617 68 0
                                    


"Kau bohong pada Jean, Eren?"

Eren tidak menjawab pertanyaan Armin. Pandangannya tertuju pada hamparan padang rumput di depannya. Eren dan Armin sudah berkendara menggunakan kuda selama 15 menit. Armin memutuskan untuk berhenti karena menurut analisanya, dua Titan yang dimaksud Levi akan segera menghampiri mereka. Tempat mereka berhenti pun sangat mendukung untuk bermanuver karena banyak pohon.

"Kau yakin dua Titan yang dimaksud Levi Heichou menuju ke sini? Aku tidak melihat ada petunjuk," ucap Eren.

"Yakin sekali. Anginnya cukup kencang, aku yakin mereka akan mencium bau kita dan mencari kita ke sini," ujar Armin.

Armin menatap Eren. "Eren, apa yang sedang kau pikirkan? Aku tahu kau bohong pada Jean tentang mimpimu semalam. Tidak mungkin kau tidak bisa mengingat mimpimu. Ada apa?"

Eren mendengus. Dia duduk, melipat kedua kakinya, dan menaruh kedua lengannya di atas kedua lututnya. "Aku memimpikan hal lain. Aku melihat Mikasa."

Armin ikut duduk di samping Eren. "Apa yang terjadi?"

"Entahlah. Aku hanya melihat memoriku dengannya, kecuali mimpiku semalam. Dia menangis sambil memandangiku. Tak ada ucapan apapun, dan aku belum pernah mengalami hal itu dengannya," jelas Eren.

Armin tidak menjawab. Dia hanya memandangi Eren.

"Aku tak ingin ada hal buruk terjadi padanya, meski hal itu kerap mendatangi kita dalam hitungan menit. Hanya saja, aku tak ingin hal buruk itu datang dariku," lanjut Eren.

Armin mengernyit. "Darimu?"

Eren kembali mendengus. "Aku tidak ingin mengecewakan Mikasa. Kau juga. Semua orang juga. Aku ingin kita semua bisa menikmati hidup di waktu yang sulit seperti ini. Aku ingin kita semua bahagia meski sebentar saja. Melihat kalian tertawa, aku merasa sangat bahagia. Aku takut mengecewakan kalian."

"Sudahlah, Eren. Jangan membicarakan hal ini..."

"Jika tidak, kau mungkin akan menyesal karena waktu berjalan dengan sangat cepat. Lebih baik aku mengatakannya padamu sekarang daripada kau tidak bisa mendengar suaraku lagi suatu saat nanti."

"Eren!"

"Itu fakta, Armin. Hidupku tinggal hitungan tahun, beda dengan kau dan yang lain. Kalian masih bisa hidup sampai tua, sampai rambut kalian beruban. Aku?"

"Eren..."

Eren tersenyum kecil. "Di sisi lain, aku beruntung tak akan melihat diriku menua dengan rambut beruban. Sangat tidak keren."

Armin tersenyum simpul. Dia tidak tahu apakah harus tersenyum lebar, atau menangis karena ucapan Eren. Armin tidak punya jawaban yang tepat, dan dia lebih baik tidak mengucapkan apapun untuk menimpali Eren.

"Armin, apa yang ada di pikiran Mikasa tentang aku?" tanya Eren.

Armin tersenyum lebar. "Tak mungkin kau tau tahu."

"Aku benar-benar tidak tahu," jawab Eren. "Dia tak banyak bicara dan sangat tertutup. Bahkan, dia jauh lebih memahamiku daripada aku memahaminya."

"Sudah jelas, bukan?" Armin memainkan rumput di hadapannya dengan jemarinya. "Kalau kau belum mengerti juga, kau tanya sendiri saja. Bukankah lebih baik begitu?"

Eren tidak menjawab. Eren merasa, dia tidak akan mendapatkan jawaban apapun dari Mikasa mengenai hal itu. Kalau pun dapat, jawabannya pasti karena mereka adalah keluarga.

"Armin," Eren menatap Armin. "Apakah Mikasa pernah kecewa padaku?"

"Mm... Aku rasa tidak," jawab Armin. "Dia tidak pernah berkomentar buruk tentangmu, kecuali kurangnya rasa percaya dirimu."

"Kau sendiri?"

"Aku..." Armin diam sejenak. "Jujur, aku kecewa saat kau berubah menjadi Titan. Karena, kehidupan kita tak lagi sama setelah itu. Semua berubah menjadi lebih serius. Kematian dan kehidupan menjadi harga mati yang kita tanggung. Tapi, mungkin memang jalannya begitu, dan aku menerimanya. Hal itu tidak mengubah pertemananku denganmu."

"Harga mati..." suara Eren mendadak berbisik. "Kau hidup untuk mati. Kau membela kaummu sampai mati. Kau menyerahkan dirimu untuk kematian demi menyelamatkan orang-orang..."

"Kau bilang apa, Eren?" tanya Armin.

"Tidak," Eren berdiri dan melepas jubahnya. "Dua Abnormal sedang berjalan ke sini, 300 meter dari kita. Sembunyikan kuda-kuda, lalu kita naik ke atas pohon."

Attack on Titan: VoicesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang