"Kuso, malam ini dingin sekali."
Connie memeluk tubuhnya sendiri sambil duduk di meja di halaman depan markas. Dia sedang mendapat giliran jaga malam dengan Mikasa.
"Ini," Mikasa muncul dari belakang Connie sambil menggenggam dua gelas teh panas.
"Kau benar-benar malaikat, Mikasa," Connie menerima gelas berisi teh dari Mikasa. "Malaikat pencabut nyawa, tapi. Terima kasih, Mikasa."
"Memangnya aku semenyeramkan itu, ya?" tanya Mikasa sambil duduk di depan Connie.
"Andai ada kaca raksasa yang bisa aku tampilkan saat kau membunuh Titan," kata Connie sambil menyesap tehnya. "Jean juga pernah bilang hal yang sama. Tidak, tidak, bahkan kami selalu bergidik setiap kau membunuh Titan di depan wajah kami."
"Yah..." Mikasa menaruh gelasnya yang sudah kosong di meja. "Tidak mungkin juga, 'kan, kau membunuh Titan sambil tertawa lega."
"Jika kau begitu, kau psikopat," kata Connie.
"Kita semua psikopat, Connie. Aku pernah melihatmu dan Jean tertawa saat kalian menebas Titan."
Connie tertawa keci seraya mendongak melihat langit. "Ngomong-ngomong, malam ini dingin dan gelap sekali. Awannya sangat tebal."
"Semoga tidak hujan. Kalau hujan, kita mati beku di sini," kata Mikasa sambil berdiri. "Aku patroli dulu ke belakang."
"Mau aku potongkan apel?" tanya Connie.
"Nanti saja kalau aku sudah kembali. Hati-hati, Connie."
"Kau hati-hati juga, Mikasa," ucap Connie sambil melihat Mikasa berlalu. "Kenapa dia hangat sekali, ya, di malam hari? Tidak dingin seperti di siang hari? Hm..."
Mikasa berjalan seorang diri sambil memegang lentera ke belakang markas. Dia bersandar pada tembok, menaruh lenteranya di tanah, dan mengecilkan apinya. Tujuannya, agar cahaya dari lenterannya tidak menarik perhatian binatang buas atau pun Titan.
Mikasa mengembuskan napasnya. Asap panas dari dalam mulutnya terlihat jelas di matanya.
"Malam ini benar-benar dingin," bisiknya pada diri sendiri.
Mikasa bersandar tanpa suara. Dia memperhatikan sekelilingnya, dan yang dia lihat hanyalah pohon-pohon yang saling menggesek satu sama lain karena diterpa angin.
Cring.
Mikasa mendongak. Dia menyipitkan matanya dan berusaha menajamkan pendengarannya. Samar-samar, terdengar suara lonceng dari kejauhan.
Kedua mata Mikasa melebar. "Lonceng yang Levi Heichou pasang... Berbunyi?"
Cring.
Suara lonceng terdengar jelas. Mikasa pun berlari memutar markas, menuju tempat Connie.
"Connie!" Mikasa mendesis dari kejauhan, namun Connie menoleh dan bisa mendengar suara Mikasa. "Aku mendengar suara lonceng! Aku akan memeriksanya! Kau berjaga di atas genting sekarang, jangan lengah!"
"Oi, oi, Mikasa!" Connie berteriak, namun Mikasa sudah berlari meninggalkannya. "Kuso!"
Connie buru-buru berdiri dan menggunakan ODM Gear-nya. Dia melompat dan membiarkan dirinya ditarik oleh mesin tersebut. Kini, dia sudah berada di atap markas.
"Kuso! Aku tidak bisa melihat Mikasa sama sekali!" Connie bicara pada dirinya sendiri. "Terlalu gelap, aku tidak bisa melihat apa-apa!"
Connie memejamkan matanya, berusaha mendengar suara dari kejauhan.
"Kuso!" Connie mengentak kaki kanannya ke tempat dia berpijak. "Kenapa anginnya kencang sekali?! Aku tidak bisa mendengar apa-apa!"
Connie mendadak panik. "Haruskah aku menyusul? Atau, sebaiknya aku membangunkan Heichou? Ah... Semoga bukan Titan."
*
Hi guys, writer here.
Mau nanya, kalo aku bikin cerita Eren dan yang lain di masa sekarang, gimana
Ngomongnya juga pake gue-lo.
Tell me!
KAMU SEDANG MEMBACA
Attack on Titan: Voices
FanfictionSisi lain dari cerita yang kamu enggak akan dapatkan dari serial Attack on Titan / Shingeki no Kyojin. Yes, Their side stories and Eren's dream.