34

2.4K 243 69
                                    

Saat menutup toko mainan, penjaga membawa kabar untuk Embun. "Nyonya, dalam perjalanan Tuan Tiyo diserang oleh orang tak dikenal. Dua mobil ditembak beruntun hingga jatuh masuk ke dalam laut."

Belum selesai penjaga itu mengatakan semua informasi yang dia dapat, Embun sudah tidak bisa menguasai diri. Bahkan sopir yang sedang mengunci pintu harus menjatuhkan kuncinya untuk berlari memegang pundak Embun yang terlihat tidak lagi kuat berdiri.

Di kamar, Embun duduk dengan air mata berjatuhan. Tidak ada yang Embun pikirkan selain Tiyo, bagaimana menyelamatkan Tiyo dan tersangka yang ada di kepala Embun hanya Billy seorang. Tangan Embun bergetar mengambil ponsel yang tergeletak di ranjang. Tapi pada akhirnya dia menghubungi nomor seseorang yang selalu mengganggunya.

"Lepaskan dia, kau boleh lakukan apa saja padaku." Kata Embun dengan suara bergetar namun sorot matanya tajam meski dari sudut matanya mengalir air mata.

Dia membuka laci, mengambil sebuah pistol yang dia temukan ada di laci itu. Milik Tiyo. Hanya ada tersisa sebuah peluru di dalamnya.

"Ini tidak akan sakit nak…" kata Embun lirih sambil mengusap perutnya, di mana bayi bayinya sedang menendangnya begitu terasa di dalam sana.

Sebuah mobil berhenti di depan pagar. Para penjaga bersikap siaga, sampai Embun muncul dari pintu. Wajahnya kalut, tidak ada kata kata para penjaga yang didengarnya.

"Buka pagarnya." Potong Embun saat seorang kepala penjaga melarangnya keluar rumah sebelum Tiyo kembali.

Pintu pagar tetap dibuka, dan Embun berjalan keluar. Hanya ada seorang sopir yang berdiri membukakan pintu kemudian membawa Embun jauh pergi ke kediaman Billy.

Sedang laki laki berparas keji itu duduk tak sabar menunggu kedatangan Embun. Dia tidak menduganya. Sungguh. Dia sama sekali tidak tahu keberadaan Tiyo meski hilangnya Tiyo adalah kabar baik. Billy meneguk wine langsung dari botolnya, wajahnya terlihat sumringah. Akan sangat menyenangkan mempermainkan kecemasan seorang wanita.

Billy tahu Embun pasti sangat cemas, bahkan kalut mendengar suaminya menghilang. Bukankah wanita hamil selalu merasakan kecemasan berlebih? Dia duduk di sofa yang menghadap tepat pintu utama ruang tamunya yang luas seakan sengaja ingin menyambut Embun. Billy tak sabar dengan permainannya. Senyumnya membuncah lebar saat pintu terbuka dan Embun berdiri di baliknya. Mengenakan dress di bawah lutut berwarna hitam dengan cardigan berlengan panjang.

"Apa yang bisa kamu berikan, sesuatu yang cukup berharga yang sebanding dengan nyawa suamimu?" Tanya Billy, lalu bangun dari sofa. Menghampiri Embun yang berdiri di tengah ruang tamu tepat di bawah lampu gantung yang bergemerincing lirih terkena hembusan angin dari pintu yang tak tertutup rapat.

"Nyawaku." Jawab Embun.

Billy berhenti tepat di hadapan Embun, senyum tipisnya memuji kecantikan Embun meski wajah ayu-nya sembab. Jemari telunjuk kanannya menyentuh pipi Embun namun segera ditepis Embun. Tapi telunjuk itu tetap menyusuri wajah ayu Embun yang terlihat menahan jijik.

"Biarkan aku melihatnya." Pinta Embun. 

"Berlututlah. Memohon padaku, jika kamu ingin melihatnya untuk terakhir kali." Balas Billy.

"Apa maksudmu?"

"Aku setuju, nyawamu ditukar dengan nyawanya. Tapi aku tidak pernah mengatakan kamu boleh melihatnya."

Mendengar jawaban Billy, Embun hanya bisa menahan emosinya. "Keadaannya cukup mengenaskan. Aku takut dia tidak bisa bertahan lebih lama." Bisik Billy sengaja menyentuh telinga Embun dengan bibirnya.

"Ayo. Berlututlah. Aku tidak sabar mendengarmu memohon padaku…"

Embun benar benar melakukannya. Dia berlutut. Dua sudut matanya berlinang air mata. Apapun akan dia lakukan untuk Tiyo. Apapun akan dia korbankan demi hanya untuk melihatnya. Iya. Cinta memang segila itu.

Mysterious HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang