Aura berbahaya terpancar kuat, berada dekat dengannya jadi agak menakutkan meski pria ini suaminya.
Saat memutuskan menikah, Embun sama sekali tidak mengetahui asal usul suaminya yang ternyata adalah seorang pembunuh bayaran.
"Dari matamu tadi aku b...
Deru baling-baling helikopter terdengar tapi Tiyo tidak peduli. Bahkan suara tangis bayinya yang berubah menjadi jeritan saja seakan tidak didengarnya. Tiyo membaringkan Embun, melempar bantal itu agar Embun bisa berbaring nyaman, dia usap peluh di wajah istrinya yang masih terasa hangat dengan sudut mata menggenang air mata. Mesti terpejam raut pucat kelelahan mendominasi wajah istrinya.
Tiyo menarik turun selimut bersimbah darah dan lendir itu ke lantai, meluruskan kedua kaki Embun yang awalnya mengangkang. Aliran darah masih keluar dari lubang lahir putra putranya. Tiyo tau Embun pendarahan, meski dia tak tau harus berbuat apa. Dia sapu air mata dengan lengannya, lalu duduk di ujung ranjang, dia menekan nekan dada Embun, "Bangun Embun… BANGUN!" teriaknya, matanya memerah memandang wajah istrinya, sengaja membiarkan air mata dan tetesan darah dari luka di belakang kepalanya menetes di wajah Embun.
Bu Hilda dan Lexi masuk ke dalam kamar, selimut putih yang penuh darah yang tergeletak itu menarik perhatiannya. Langkah kaki mereka tertahan pada apa yang ada di hadapannya: Tiyo yang berusaha membangunkan Embun, sedang di sisi bagian lain ranjang bayi bayi merah itu menangis bersahutan dengan tubuh gemetar.
"Bangun sayang! BANGUN KUBILANG!" Tiyo menekan nekan dada Embun, seakan berusaha menggoncang-goncangkan jantungnya. Tapi Embun tidak juga bergerak. Tiyo menggeleng, air matanya berjatuhan. Dia butuh Embun. Dia tidak bisa, bahkan tidak membayangkan hidupnya akan seperti apa jika Tuhan mengambil Embun… Pundak Tiyo bergetar. Dia menangis, lalu merengkuh pundak Embun, memeluknya, menyesap aroma tubuh yang masih hangat itu.
Bu Hilda dan Lexi masuk, bersama dua perawat. Dua perawat itu langsung mengurus si kembar. Memotong ari-arinya dan menjepitnya dengan alat, kemudian membalut satu persatu bayi itu dengan selimut putih yang mereka bawa, mengusap darah dan lendir yang masih membalut tubuh mungil mereka.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sedang Lexi, menepuk pundak Tiyo seraya berkata, "Biar ibu memeriksanya."
Tiyo tidak peduli, dia membaringkan Embun, menyandarkan keningnya di dada Embun, "Jangan pergi kumohon. Jangan… bagaimana aku tanpa kamu…" suara tersiksa itu terdengar lirih.
Tapi jantung itu tetap hening… tangannya yang dipenuhi bercak darah dari anaknya tiba tiba mengepal, hingga urat urat di punggung telapak tangannya tampak jelas. Matanya menggelap dan memicing memandang sudut kamar.
Dia menegakkan dirinya, berbalik, mengambil ponsel yang mencuat dari kemeja Lexi.
"Hei kau mau kemana," Lexi memegang lengan kakaknya, lengan yang tiba tiba sekeras balok kayu.
Aura membunuh pekat terasa, bahkan Bu Hilda bisa merasakannya saat sedang memeriksa jantung Embun.
"Bagaimana anak anakmu?!" Tanya Lexi lagi, tapi Tiyo hanya mendorong pundak Lexi hingga terhuyung hampir jatuh di atas kaki Embun jika Lexi tidak menahan dirinya.