04

7.3K 381 11
                                        

Tengah malamnya, Tiyo masih berakhir tidur di ruang tamu. Keningnya berkeringat, dalam mata terpejam itu dia seperti melihat kengerian. Tiyo meremas selimutnya sendiri.

Dalam mimpinya, pemuda yang telah ia bantai dengan menghantamkan linggis ke kepalanya, sedang ibunya menangis dengan lutut yang lemas dan jatuh ke tanah... Polisi datang, dan membawa Tiyo ke kantor polisi. Tapi tangan penuh darah itu tidak melawan, tidak juga merasa takut. Semua saksi di tempat kejadian menunjuk Tiyo dengan penuh amarah, menyebutnya seorang binatang, bahkan pembunuh.

Tapi saat Tiyo hendak dijebloskan ke dalam penjara, ibu dari pemuda bernasib naas itu mendekati polisi dan menarik semua tuntutannya. Dia tidak ingin memperpanjang masalah ini.

Polisi mengenal siapa keluarga Arka Wicaksana, meski keluarga bersikeras memenjarakan Tiyo, toh dengan diam-diam Polisi tetap akan memebaskan Tiyo dan menutup kasusnya.

Tapi justru sikap ibu itu yang selalu membuat Tiyo memimpikan kejadian itu dari sekian banyak nyawa yang hilang di tangannya. Setelah menandatangani surat menutup kejadian perkara, ibu itu menghampiri Tiyo saat borgol yang membelenggu tangannya di lepas seorang polisi.

"Anakku mati di tanganmu, itu memang sudah takdirnya. Dia juga bukan seorang anak yang baik semasa hidupnya. Tapi kamu... Aku sangat merasa kasihan padamu... Berapapun harga yang dibayar untuk upah membunuh seorang nyawa, tidak akan sebanding dengan hancurnya perasaan saat kamu kehilangan nyawa yang sangat kamu cintai." Kata ibu itu sedang Tiyo hanya terdiam, mengusap punggung tangannya yang masih tersisa noda darah.

"Ini mungkin hukumanku, karena tidak bisa mendidik putraku dengan baik. Tapi tunggulah... Kelak kamu akan mendapatkan bagianmu... Kamu akan merasakan apa yang aku rasakan. Itu menjadi pengadilan yang adil untukmu." Ibu itu pergi, membuat suasana di kantor polisi itu mendadak hening karena semua orang, mendengar dengan sangat jelas apa yang dia ucapkan.

Tiyo membuka mata dan duduk dengan wajah berkeringat. Dia seperti melihat setan, padahal yang menakutkan hanya kalimat terakhir yang ibu itu ucapkan dalam mimpinya.

Tiyo yang masih ketakutan langsung bangun, dan masuk ke dalam kamar. Dia memastikan Embun baik-baik saja. Belum cukup dengan hanya melihat istrinya itu sedang lelap dengan mulut agak terbuka, Tiyo merangkak naik ke atas ranjang dan menyelinap masuk ke dalam selimut. Dia memeluk Embun erat. Anehnya istrinya itu tidak terbangun.

Embun memang seperti orang mati jika tidur. Suara atau gempa tidak akan membangunkannya.

Tiyo yang mengira dia diberikan lampu hijau oleh Embun, kembali membaringkan istrinya... Ditatapnya Embun lekat, jari telunjuk Tiyo menyelinapkan helaian rambut Embun ke telinga. Jari Tiyo berjalan menyusuri tulang rahang Embun, memuji paras ayu istrinya yang membuatnya betah hanya dengan memadanginya. Jari itu berhenti di ujung dagu Embun, mungkin Embun masih terhanyut dalam mimpinya, dan tidak merasakan apapun sama sekali termasuk saat Tiyo mengatupkan bibir Embun agar menutup kemudian mengecupnya.

"Kalau tahu tidur kamu kayak orang mati begini, aku tiap hari begini aja..." Tiyo terkekeh lalu kembali berbaring di samping Embun, memandanginya sepanjang malam sampai dia meninggalkan kamar dan kembali tidur di ruang tamu.

Keesokan paginya, tanpa menunggu Embun bangun, Tiyo sudah meninggalkan apartemen. Sebelum pergi Tiyo bahkan mengecup kening Embun meski istrinya itu tidak terasa.

Tiyo mendatangi rumah sakit, saat Elena membuka mata, dia menoleh dan ada Tiyo duduk di samping ranjang. Elena segera duduk, "Kamu baru datang?! Aku selaman sudah ada di sini. Menunggu kamu!" Elena marah.

"Aku datang, tapi kamu sedang tidur. Jadi aku pergi setelah memastikan kamu baik-baik saja." Jawab Tiyo.

Pintu terbuka, Arka tiba. Tatapan sinisnya memandang keakraban Tiyo dan Elena dengan risih.

Mysterious HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang