Bu Hilda terbaring dengan sayatan di lehernya. Darah yang mengalir itu keluar dari sana.
"Seseorang menelponku. Dan ini yang aku temukan satu jam yang lalu. Anak anakmu selamat. Diana membawanya pergi tepat waktu, sedang ibu... Dia sengaja tetap berada di sini. Itu yang dikatakan salah seorang penjaga sebelum dia meninggal." Kata Lexi dengan suara bergetar. Pundaknya juga bergetar, dia menutup matanya dan menangis.
Tiyo melepaskan genggamannya pada tangan Embun, dia menaiki satu tangga, hendak mendekati Bu Hilda.
"Apa kau puas sekarang? Apa kau bisa MEMAAFKAN IBU SEKARANG?!" teriak Lexi lalu mendorong Tiyo. "Anak pembawa sial!" Lexi menuruni tangga lalu meninju wajah Tiyo.
Embun mendekati raga tak bernyawa itu, mengambil tangannya. Mengecup punggung tangan mertuanya dengan linangan air mata.
"Aku sudah berkali kali bilang pada ibu untuk menjauhimu! Terlalu berbahaya! Dan aku tidak bisa selalu berada di dekatnya. Tapi dia tidak mau mendengar apa kataku! Dia bilang dia ingin berada dekat denganmu! KAU TAU BODOH! KAU MENGHINA IBUKU! DIA IBUKU! DIA TIDAK PANTAS JADI IBUMU!" Lexi mencengkram kerah kemeja Tiyo dan mengangkatnya tinggi, sedang tatapan Tiyo hanya memandang pada wajah ibunya yang terpejam dan pucat.
Lexi menghantamkan Tiyo di lantai. Dia sendiri terlutut, menutup wajahnya dan kembali sesenggukan, "Dia menyayangimu lebih dari dia menyayangiku. Dia selalu mencarimu. Dia bahkan rela menjadi pembantu di rumah ini! Sedang di rumah dia selalu memandang fotomu. Dan kau... kau menyia-nyiakan dia! Kau abaikan dia! Brengsek!"
Lexi mendekati Tiyo dan kembali meninju wajah kakaknya. Darah segar keluar dari hidung Tiyo. Dan dia masih tidak mengatakan apapun. Hanya sudut matanya basah. Dia membiarkan Lexi memukulinya sambil meluapkan kesedihannya. Dia sudah terbiasa. Bukankah dulu ayah Arka juga sering memukulinya, menjadikannya pelampiasan atas apa yang tidak dia mengerti.
Tiyo tau Lexi kacau, Lexi sedih, bahkan saat adiknya itu kembali menarik kerah kemejanya untuk berdiri, Tiyo bisa melihat punggung Embun yang bergetar di samping tubuh ibunya. Tiyo pun sedih. Tapi kesedihannya tak penting. Tak pernah menjadi penting bagi orang lain.
Rasanya sakit. Hatinya. Seluruh tubuhnya. Tapi Tiyo hanya diam. Seperti Tiyo kecil dulu. Tiyo kecil yang selalu menerima segala perlakuan karena hutang budi. Karena dipungut. Tiyo terduduk bersandar tembok, memeluk kedua lututnya sendiri, lalu menenggelamkan wajahnya di antara lutut itu. Persis seperti Tiyo kecil saat menerima pukulan. Lexi yang kalap menghantamkan kursi meja makan pada Tiyo, membuat dua kaki kursi itu patah.
Embun berlari, menarik lengan Lexi yang kesetanan. Dan Tiyo bisa mendengar jika Embun memohon pada Lexi untuk tidak menyakitinya. Tapi Tiyo tidak bergeming, dia menutupi air matanya. Memang hanya Embun orang pertama yang membelanya. Melindunginya.
Tapi tidak. Kedua orang tua Embun juga menyayanginya. Yakin padanya. Untuk itu mereka memberikan restu pada Tiyo menikahi Embun. Dan Bu Hilda juga selalu melindunginya. Bu Hilda adalah ibunya, ibu yang dia impikan karena semasa hidup dia tidak merasakan kasih sayang itu. Namun mereka semua salah... salah karena membelanya, yakin padanya, dan melindunginya. Karena Tiyo bukanlah orang baik. Benar apa yang dibilang Lexi, "Pembawa sial." Itu predikat yang cocok untuknya.
'Aku... hanya bisa memberikan penderitaan bagi kalian.'
'Semua yang baik padaku pada akhirnya harus mati di hadapanku,'
Embun terlutut di hadapan Tiyo, menangkup kedua pipinya agar menatapnya. Tapi tatapan Tiyo sudah kosong. Darah mengalir dari hidungnya, sudut bibirnya juga robek karena tinjunya Lexi. Sosok ber-aura pembunuh itu seakan terhempas pergi.
"Semua ini bukan salahmu." Kata Embun sambil menangis.
Tiyo mendengarnya tapi bibirnya seakan terkunci, dia hanya bisa memandang Embun nanar.

KAMU SEDANG MEMBACA
Mysterious Husband
RomantizmAura berbahaya terpancar kuat, berada dekat dengannya jadi agak menakutkan meski pria ini suaminya. Saat memutuskan menikah, Embun sama sekali tidak mengetahui asal usul suaminya yang ternyata adalah seorang pembunuh bayaran. "Dari matamu tadi aku b...