Sore harinya Embun sudah diperbolehkan pulang. Sampai di rumah, Diana sedang bermain bersama si kembar di ruang tamu. Suara tawa renyah si kembar terdengar saat Diana menirukan suara lolongan serigala. Baru membuka pintu tapi Embun sudah tertular tawa anak anaknya.
"Lo baik baik aja kan?" Kata Diana saat Embun duduk di sampingnya.
Ray langsung berusaha merangkak mendekati ibunya, sedang Rei masih duduk mengemut jempolnya dengan kepala menengadah memandang sosok ayahnya yang tinggi.
"Hanya kram tadi. Tapi kabar buruknya aku sudah tidak bisa menyusui si kembar karena keadaanku lemah dan juga karena riwayat dua kehamilanku sebelumnya." Wajah Embun kembali sedih, apalagi saat melihat wajah anak anaknya.
"Anak anakmu memiliki DNA ayahnya. Tidak terlalu masalah." Hibur Diana sambil mengenang bentuk tubuh Tiyo yang entah sulit dia lupakan. Mendengarnya Embun terhibur, dia bahkan terkekeh. Diana benar, Tiyo adalah laki laki terkuat yang pernah Embun temui seumur hidupnya.
Prianya, miliknya.
"Istirahatlah, biarkan si kembar bermain bersamaku." Kata Diana tapi Embun menggeleng, "Aku ingin bersama mereka… Mas bisakah seterusnya kita akan tidur berempat dengan anak anak?" Embun langsung menatap Tiyo yang berdiri di belakangnya.
Diana mendengar nada suara Embun dan menaikkan satu alisnya. Sepupunya ini, bagaimana bisa mudah melunak.
'Dasar hormon kehamilan!' gumamnya.
"Bukankah setiap hari kita sudah tidur bersama mereka?" Tanya Tiyo.
"Kita tidur bersama dalam satu ranjang… setelah ini, aku mungkin akan lebih banyak memperhatikan adik mereka… jadi, bisakah sebelum adik mereka lahir, kita benar benar fokus memperhatikan mereka?" Tanya Embun terdengar dengan nada hati hati.
Tiyo dan Diana memandang Embun. Diana berpikir jika mungkin Embun nyidam, meski apa yang Embun pikirkan juga tidak salah. Kekhawatiran seorang ibu yang takut tak bisa sepenuhnya memberikan cinta dan perhatian yang sama rata pada anak-anaknya.
Tanpa berkata apa apa Tiyo mengangguk setuju, menarik senyum lebar di bibir Embun.
Anggota keluarga kecil mereka akan bertambah, dan Tiyo sudah tidak mungkin terus memikirkan Embun bisa bersamanya setiap saat. Keduanya harus membagi perhatian dan waktu pada anak anak mereka.
Tiyo masuk ke dalam kamar, entah mengapa dia merasakan sedih.
Tengah malamnya, Tiyo tidur menghadap Embun, sedang Ray dan Rei juga terlelap menghadap ibunya. Pandangan Tiyo lekat menatap wajah istrinya yang tampak lelah. Embun baru berumur 24 tahun, tapi Tiyo tidak pernah tau apa impian istrinya… apa cita cita yang ingin dia capai… dia masih muda dan sudah memiliki dua berandal manja yang selalu ingin menempel padanya…
Tiyo jadi merasa bersalah, bagaimana bisa dia selama ini hanya memikirkan dirinya sendiri… dia ingin Embun selalu bersamanya tapi yang Embun pikirkan justru adalah kebahagiaannya, kebahagiaan anak anaknya…
Tiyo mengulurkan tangannya untuk menyentuh pipi Embun, ini adalah malam pertama dia tidak tidur dengan memeluk Embun karena si kembar tidur di antara mereka. Sentuhan Tiyo membuat kedua mata Embun terbuka, "Mas, kamu butuh sesuatu?" Tanya Embun.
Tiyo menggeleng, "Apa yang membuat kamu bahagia Embun?" Tanya Tiyo.
Embun menggenggam tangan Tiyo yang masih menyentuh pipinya, "Seperti ini sudah bahagia…" jawabnya lalu tersenyum.
"Aku belum pernah ke Taman Safari, bagaimana jika besok kita ajak dua berandal ini ke sana?" Ajak Tiyo.
"Ide bagus mas! Rei suka sekali harimau, dan Ray antusias sekali waktu diperlihatkan gambar beruang… mereka pasti senang bisa melihatnya langsung…" Embun tampak antusias, sepertinya ngantuknya hilang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mysterious Husband
RomantizmAura berbahaya terpancar kuat, berada dekat dengannya jadi agak menakutkan meski pria ini suaminya. Saat memutuskan menikah, Embun sama sekali tidak mengetahui asal usul suaminya yang ternyata adalah seorang pembunuh bayaran. "Dari matamu tadi aku b...