25

2.7K 213 62
                                    

Tiyo tiba di kamar Elena, tidak ada siapapun di sana. Saat melihat kehadiran Tiyo, Elena tersenyum. Tiyo duduk di samping ranjang lalu bertanya, "Bagaimana keadaanmu?"

"Aku ingin ke taman."

"Apa itu diperbolehkan dokter?"

"Aku tidak butuh yang lain selain kamu."

Tiyo bangun dari kursi, "Aku ambilkan kursi roda." 

"Apa istrimu melarangmu menyentuhku?" Elena menahan langkah Tiyo. "Dia tidak pernah bisa melarangku dalam hal apapun. Aku yang membatasi diriku. Aku hanya ingin menyentuhnya, tidak ada yang lain."

"Tapi aku adikmu. Kamu terbiasa menggendongku di belakang dulu."

"Seandainya saja kamu tidak memiliki perasaan itu, tidak perlu ada yang terluka sekarang."

Elena memandangi Tiyo yang menatap keluar jendela. "Seandainya saja bisa kita permudah semua ini, seandainya sejak awal kamu memilihku, kita mungkin sudah lima tahun lalu memiliki penerus darahmu."

"Seandainya aku bersama keluarga kandungku, mungkin detik ini aku akan biasa saja menamparmu karena mengatakan itu." Tiyo menoleh kesal pada Elena karena ucapannya.


Di rumah Diana sibuk masak sendiri, sampai matahari terbenam Embun belum bangun. Saat sedang menata makanan di meja makan, tidak lama Bibi Hilda pamit pulang dan Embun muncul di dapur. Rambut basahnya tergerai dengan aroma segar sabun mandi yang masih tercium.

"Aduh gue lapar…" kata Embun saat hendak mengambil bakwan jagung hangat yang ada di meja. Diana langsung memukul tangan Embun, "Enak aja lo! Udah gak bantuin, dateng dateng ribut lapar!" Sergah Diana ketus.

Embun mesam mesem dengan senyum manis, "Maaf. Lagian tumben deh lo masak. Ada apa? Apa ada hari spesial yang gue lupa? Di rumah ini gak ada yang ulang tahun. Tiyo masih dua bulan lagi."

"Billy mau datang." Jawab Diana. Embun terdiam, menelan ludah dalam dalam. Bulu kuduknya berdiri mengingat saat tangan asing itu mengusap perutnya waktu itu.

"Tiyo pergi ke rumah sakit, nemuin adiknya. Dia bahkan ngelarang gue ngebagunin lo."

Satpam muncul di dapur, dan memberitahukan ada tamu yang datang. Diana mematikan kompor lalu berjalan riang ke luar. Embun mengikuti dengan langkah pelan di belakang. Embun melihat sesosok pria, tingginya sama dengan Tiyo, dia mengenakan jaket hitam, wajahnya terhalang rambut Diana karena Diana memeluknya, tapi saat pelukan itu terlepas, lalu Diana mengecup bibir tipis yang diselimuti bulu halus itu… Embun bergidik hingga menyenggol hiasan vas bunga di samping meja. Vas itu jatuh dan pecah berserakan di lantai.

Billy menatap Embun begitupun Diana. "Ya ampun biasa aja kali, ngeliat gue ciuman. Billy udah ngelamar gue." Kata Diana sambil menunjukkan cincin berlian yang menghiasi jari manisnya. Sumpah serapah tertelan kembali di ujung lidah Embun. "Melamar?" Embun menatap Diana tak menyangka.

"Lo gak pernah ngebahas soal ini sama gue!" Embun kesal, dan Diana merasa agak aneh dengan sikap sepupunya. "Lo larut dalam kesedihan lo, lo bolak balik masuk rumah sakit, lo juga berhari hari gak pulang saat lo bilang mau ke pulau untuk pesta ulang tahun adik Tiyo waktu itu… terus gimana gue mau mulai cerita?"

Billy mengusap usap punggung belakang Diana, "Gak apa. Kamu jangan marah, toh sekarang sepupu kamu dan suaminya tau."

Ayah Embun turun dari tangga, perdebatan ini tidak bisa dilanjutkan. Diana mengantar Billy ke meja makan, bahkan sambil menyapu bekas beling vas bunga itu Embun melirik ke belakang dan melihat jika Billy bercanda dengan ayahnya. Sudah seakrab itu… dan Embun tidak tau jika Diana dalam bahaya.

Mysterious HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang