Elena memegang undangan pesta ulang tahunnya. Dia sesekali menghirup inhalernya dengan wajah rumit. Arka menuruni tangga sambil mengancingi lengan kemejanya. Dia duduk tidak jauh dari adiknya. "Ada apa? Kamu tidak suka dengan undangan itu?" Tanya Arka.
"Aku suka. Aku hanya berfikir apa aku harus memberikan undangan ini langsung pada Tiyo? Adam bilang Tiyo terluka karena orang orang Billy." Cerita Elena.
"Aku rasa kamu tahu lebih banyak tanpa aku perlu memberitahukanmu apa yang terjadi setelah ini dengan Tiyo. Jadi… lupakan dia. Billy hanya tinggal menunggu waktu untuk melenyapkannya."
Rasa cinta yang teramat besar, lamanya waktu yang Elena korbankan untuk Tiyo, tiba tiba berubah menjadi rasa benci. Tiyo baru mengenal Embun dan bisa mencintai perempuan itu hingga berlebihan dan sebesar itu pula rasa benci Elena pada Tiyo.
Elena berdiri, saat Adam membuka pintu dan menghampirinya, Elena berkata… "Temani aku mengantar undangan ini."
...
Suapan terakhir hendak Tiyo suapkan pada Embun. Embun memalingkan wajahnya, "Udah. Aku kenyang." Kata Embun."Tinggal sesuap…" Tiyo masih memaksa.
Embun menutup mulutnya dengan tangan, Tiyo tersenyum lalu menyuapkan sendok itu untuknya. "Aku ingin ke ruang perpustakaan." Kata Embun.
"Aku akan berada di rumah selama 24 jam. Aku akan jadi kakimu supaya kamu bisa kemanapun, aku juga akan jadi tanganmu untuk menyuapimu makan," kata Tiyo berusaha bersikap manis. Tapi Embun tidak banyak bereaksi. Dia diam, sampai Tiyo menggendongnya keluar kamar, menuruni tangga. Tangan Embun bergelayut di belakang kepala Tiyo. Tidak sengaja menyentuh jahitan kecilnya. "Aduh. Jangan dipegang." Sergah Tiyo refleks.
"Kenapa?" Wajah Embun tiba tiba cemas. Tiyo tidak menjawab, hanya mendudukkan Embun di sofa di ruang perpustakaan. "Kamu khawatir padaku?" Tanya Tiyo, mencondongkan wajah untuk berada dekat dengan wajah Embun.
Mendengar sindiran itu Embun memutar bola matanya, bahkan mengalihkan wajahnya. Tiyo berdiri, "Aku akan buatkan kamu teh untuk teman membacamu." Lalu meninggalkan ruang perpustakaan.
Pintu rumah terbuka saat Tiyo melintas hendak menuju dapur. Elena berjalan masuk ke dalam dan menghampiri Tiyo yang kebetulan menghentikan langkah untuk melihat tamunya. Kedatangan Elena cukup mengejutkan. Adiknya itu memeluknya erat, lalu menggandengnya untuk duduk di ruang tamu. Adam berdiri di depan pintu dengan tatapan tajam pada Tiyo. Dia cemburu, dan tidak mengerti dengan sikap Elena. Tapi Tiyo sudah banyak menolong Adam, dia setidaknya harus menjaga sikapnya pada Tiyo.
"Aku dengar kamu terluka, beberapa jahitan di belakang kepalamu…" kata Elena. Apa yang Elena katakan jelas mengungkapkan jika Tiyo selama ini tidak lepas dari mata mata yang selalu memperhatikan gerak-geriknya.
"Aku tidak apa." Jawab Tiyo singkat.
Bibi Hilda membawakan tiga cangkir teh untuk Elena, Adam dan Tiyo. "Bi, buatkan satu lagi untuk Embun. Dia di ruang perpustakaan." Pinta Tiyo sopan.
"Tidak perlu." Suara dingin Embun terdengar dari belakang. Semua menoleh, begitupun Bibi Hilda. Embun sudah berdiri di sana, memegang perutnya.
Tiyo berdiri, hendak membantu Embun berjalan. Sejujurnya Embun tidak ingin Tiyo memapahnya untuk duduk di ruang tamu. Tapi tatapan Elena dan mengingat ucapan terakhir Elena pada Embun waktu itu… memperlihatkan sikap kesalnya pada Tiyo hanya akan membuat Elena besar kepala. Jadi Embun bersedia dipapah, dan bahkan menyunggingkan senyum pada suaminya meski terpaksa.
Tiyo dan Embun duduk bersebelahan… di seberang meja, Elena dan Adam duduk bersebelahan juga. Suasana agak sedikit kaku. Tapi Embun sudah mendengar apa yang Elena katakan soal luka dan jahitan di belakang kepala suaminya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Mysterious Husband
RomanceAura berbahaya terpancar kuat, berada dekat dengannya jadi agak menakutkan meski pria ini suaminya. Saat memutuskan menikah, Embun sama sekali tidak mengetahui asal usul suaminya yang ternyata adalah seorang pembunuh bayaran. "Dari matamu tadi aku b...