Seperti yang sudah diumumkan sebelumnya, seluruh kelas sebelas akan mengadakan camping di puncak. Ini merupakan sebuah tradisi yang sudah berlangsung sejak sekolah ini berdiri. Dari tahun ke tahun SMA Buana selalu melaksanakannya.
“Anak-anak, jangan ada yang berpisah dari rombongan ya!” Ucap Bu Anna yang menjadi salah satu dari koordinator terlaksananya acara.
“Iya, Bu.”
“Len, lo merasa ada beda nggak?”
Helene mengangkat sebelah alisnya. “Apa?”
Sambil masih meneruskan perjalanan mereka, Vega menggerakkan kepala Helene untuk melihat ke depan. Menunjuk seorang cowok yang berjalan diapit kedua cowok yang merupakan Riski dan Candra. Helene tahu, yang dimaksud Vega itu Leo.
“Liat deh, Leo keliatan ganteng gitu.”
Helene akui, cowok itu memiliki aura berbeda hari ini. Dibalut dengan kaos polos dan jaket sebagai pelapisnya, Leo terlihat keren.
“Biasa aja.” Tangannya melepas tangan Vega dari dagunya. Namun, akhirnya Vega membalas itu dengan senyum yang semakin merekah.
“Bukannya luar biasa?”
“Enggak.”
“Oh, jadi sangat luar biasa?”
Helene hanya menatap Vega dingin lewat ekor matanya. “Apaan sih?” Lalu kembali melihat ke depan tanpa menanggapi perkataan Vega lagi.
***
“Kegiatan kita hari ini tracking ya?”
Tidak ada yang tidak senang mendengar hal itu. Hal yang paling seru dari berkemah di alam adalah ada agenda untuk tracking. Karena dari sini, mereka bisa mengenal lebih baik bagaimana alam sebenarnya.
“Kelompoknya akan Ibu bagi. Setelah namanya terpanggil, nanti langsung berkumpul sesuai kelompok masing-masing!”
“Kelompok 1 dipimpin oleh Riski, anggotanya ada Citra, Dinda, Vega, Yoga, Fariz,....”
Sudah beberapa kelompok yang sudah terbentuk. Dan kali ini adalah kelompok terakhir yang beberapa anggotanya belum disebutkan namanya. “Kelompok terakhir dipimpin oleh Leo, anggotanya ada Helene, Candra, Luna, Risa, Bagas,....”
Helene tiba-tiba kehilangan titik fokusnya ketika namanya disebut oleh Bu Anna. Sangat jelas karena sudah tidak ada siswi lain lagi yang bernama sama dengannya. Mengapa harus sekali sekelompok dengan Leo?
Dengan ogah-ogahan Helene berjalan menuju ke sebuah perkumpulan dari anggota lain kelompoknya. “Kenapa harus sama lo lagi?”
“Heh, lo berdua baikan sekarang, udah setim juga.” Ucap Candra seraya merangkul bahu Leo dan Helene secara bersamaan.
Helene menggerakkan bahunya melepas tangan Candra dari sana. “Apaan sih, Can?”
“Gak minat sama sekali.”
“Nanti kalian akan dipimpin oleh Pak Imron, kemudian untuk ketuanya mengawasi anggota agar tidak ada yang keluar dari kelompok.”
“Iya, Bu.”
“Oh iya, nanti urutannya sesuai pembagian kelompoknya!” Titah Bu Anna terakhir kalinya sebelum mereka memulai perjalanan.
***
Helene merasa terpukau dengan suasana di sekelilingnya. Suasana yang tidak pernah ditemuinya di mana pun. Karena jika biasanya suasana yang dia temui adalah hiruk pikuk kota, kali ini kedamaian dengan udara sejuk di tengah puncak.
Tidak henti-hentinya mulutnya berdecak kagum dengan pemandangan sekitarnya. Pemandangan yang penuh dengan warna hijau yang seolah mampu menyilaukan mata. Terlalu lamanya dia memandang sekitar, Helene hingga lupa kalau jalur yang dilaluinya bukan jalur yang mudah.
Karena kecerobohannya sendiri, kaki Helene menapak pada pijakan yang salah. Batunya terlalu rapuh hingga saat kakinya bertumpu, batu itu justru lepas dari tanah. Hal itu sangat membuat Helene kaget sampai-sampai dia hilang kendali dan terjatuh mengenaskan di tanah.
“Aaaaaaaaaa...!!!”
“Leo, tolongin!”
Manusia yang berdiri di belakangnya itu hanya melihatnya tanpa ada rasa ingin membantu. Sebelumnya, dia sudah menyuruh Candra untuk berada di depan sedangkan dirinya di belakang. “Kaki lo masih kan? Jalan aja sendiri!”
“Nggak punya empati banget sih!”
Cowok itu justru melanjutkan langkahnya. Meninggalkan Helene yang masih berusaha untuk bangun. Helene sangat kesusahan untuk berdiri. Kaki kirinya terasa nyeri yang begitu hebat ketika digerakkan. Cewek itu merintih kesakitan.
Bukan sebuah drama, tapi ini nyata adanya. Dan cowok semacam Leo tidak melihat kesungguhan yang ada lewat tatapan matanya. Dibuat dari mana hati cowok itu? Dari batu kah?
Setelah bisa berdiri, kini dia mencoba menggerakkan lagi untuk berjalan. Namun yang ada hanya menambah rasa nyeri itu semakin hebat. Helene menyandarkan tubuhnya pada pohon besar di dekatnya. Mengamati kakinya yang nampak terlihat mengenaskan.
Pelupuk matanya mulai memburam karena penuh dengan cairan bening yang hendak menetes. Tak lama suara isakan kecil lolos dari bibirnya. Helene tidak sanggup menahan sakitnya lagi.
Ya Allah, ini sakit banget!
Suara derap langkah yang terdengar samar mendekat membuyarkan air mata yang sudah mengumpul itu untuk jatuh. “Lo nangis?” tanyanya.
Helene hanya diam. Menunduk menyembunyikan suara isakan kecil yang tidak bisa dihentikan. Cowok itu menghela napas. Lalu sedikit berjongkok di depannya. “Naik!”
“Lo mau gue tolong apa enggak?”
***
Selamat membaca, teman-teman!
Maaf sudah terlalu lama menghilang 😭
Semoga part ini bisa sedikit mengobati.Stay safe semuanya❤️
31 Januari 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
Re-frain ✓
Teen FictionTidak ada pendeskripsian panjang. Yang perlu kalian tahu adalah 'bagaimana cara yang baik untuk mengalahkan ego bagi sebagian orang'. re-frain ©2020 - Ylenia DeLorean End: 25 Juli 2021